Mohon tunggu...
Marintan Irecky
Marintan Irecky Mohon Tunggu... Lainnya - ENG - IND Subtitler and Interpreter

Indonesian diaspora who has been living in Saudi Arabia since 2013. Currently interested in topics about women, family and homemaking, and female intra-sexual competition.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

SMA 6 Bangga Pukuli Wartawan, Anda?

19 September 2011   18:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:49 4245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

[caption id="attachment_135975" align="aligncenter" width="620" caption="*dinilai brutal kok malah bangga ya?*"][/caption] Senin 19 September 2011 mungkin menjadi mimpi buruk para wartawan yang mengadakan aksi damai di depan SMA 6 Jakarta. Aksi damai yang digelar untuk meminta pertanggungjawaban pihak sekolah atas pengeroyokan dan perampasan kaset wartawan Trans7, Oktaviardi, malah berujung bentrok hebat antara kedua belah pihak. Bila diurai dari berbagai berita di media massa, peristiwa Wartawan vs SMA 6 dimulai saat puluhan siswa sekolah itu mengolok-olok wartawan yang tengah menunggu Okta mengidentifikasi siswa perampas kaset videonya. Kesabaran para wartawan habis saat gerombolan pelajar itu bukan hanya meledek, tapi mulai melempari mereka dengan botol air mineral dan balok kayu. Di sinilah awal terjadinya bentrokan yang akhirnya meluas sampai ke terminal bus Blok M itu. Mengingat lokasi kejadian lebih menguntungkan SMA 6, tidak heran banyak wartawan banyak yang lari tunggang-langgang saat para siswa mengumpulkan massa dan menyerang dengan berbagai jurus. Banar Fil Ardhi, wartawan Kompas, menjadi sasaran sesaat setelah mengirimkan foto kejadian ke kantornya. Belum lagi beberapa wartawan lainnya yang luka-luka parah dan harus dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Pertamina. Mereka yang terluka antara lain Yudistiro Pranoto (fotografer Seputar Indonesia), Panca Syurkani (fotografer Media Indonesia), Septiawan (fotografer Sinar Harapan), Doni (Trans TV). Yang membuat miris di sini adalah kelakuan para siswa SMA 6. Mereka seakan puas dan bangga melihat hasil karya mereka; keributan besar, kemacetan parah, dan adu jotos dengan para wartawan yang nota bene berusia jauh di atas mereka. Sekolah ini memang sudah sejak lama memiliki reputasi sebagai sarang tawuran. Terlebih karena sekolah rivalnya, SMA 70, jaraknya hanya beberapa meter saja yang dipisahkan oleh gedung Kejaksaan Agung. Tapi seolah mengeroyok sesama pelajar tidak cukup memalukan, SMA 6 malah terkesan bangga dengan pengeroyokan wartawan. Sejumlah pelajar sekolah yang bertetangga dengan Blok M Plaza itu malah sibuk berkicau soal aksi ala jagoan mereka di akun Twitter. Mulai dari Gilang Perdana (@Gilang_Perdana, kemudian berganti nama akun sebanyak 2 kali sebelum akhirnya menonaktifkannya) yang menulis tweet berbunyi, "Puas gua mukulin wartawan di jalur sampe bonjok2 emosi bet gua" "Mahakam keras coy, jangan ngusik kalo gak mau diusik, wartawan pun jadi korban," "Mampus mobil wartawan ancur," Sampai siswa bernama Danu Ismail yang juga ikut memamerkan kebanggaannya memukuli wartawan, "mampus lu wartawan gegerotak, makanya jangan cari masalah, mahakam keras bos!" Gila! Bangga benar ya memukuli pewarta berita? Bukannya memikirkan nama sekolah yang tercemar akibat pemberitaan di media massa, siswa-siswa SMA 6 semakin brutal menyerang meskipun aparat kepolisian Kebayoran Baru melepaskan tembakan peringatan ke udara sebanyak 5 kali. Yang lebih menyedihkan lagi adalah kenyataan bahwa polisi kalah, keok, impoten, nggak bisa mengendalikan situasi. Padahal aroma keributan sudah tercium sejak awal dan pihak kepolisian setempat sudah berjaga-jaga. SMA 6 terletak di dekat Kejaksaan Agung dan hanya beberapa kilometer dari sana ada Mabes Polri. Sebegitu sulitkah menurunkan aparat keamanan untuk mengekang libido tawuran anak SMA? Atau jangan-jangan polisi ikut senang melihat wartawan lari terbirit-birit dihantam sekelompok pelajar yang lebih mementingkan baku hantam daripada mengejar prestasi? Mungkinkah benar, kabar yang beredar bahwa polisi takut pada ayah Gilang yang (katanya) seorang jenderal? Semoga kasus ini tidak dibiarkan menguap begitu saja. Kalau anak-anak SMA itu dibebaskan, mereka akan merasa menang dan semakin berkuasa. Wartawan saja dibuat tidak berkutik, siapa lagi yang bakal berani menentang mereka? Ck ck ck ck, kalau masih SMA sudah brutal begitu, besok mau jadi apa ya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun