Banyak orang mengeluh ketika pesawat yang akan mereka tumpangi mengalami keterlambatan (delay) dari waktu keberangkatan yang sudah dijadwalkan. Terlebih penumpang yang harus transit untuk menyambung naik pesawat lain untuk tujuan berikutnya. Keterlambatan sudah pasti membuat gelisah dan bahkan bisa mendatangkan kerugian kalau sampai harus tertinggal penerbangan berikutnya. Tapi tahukah kalian kalau keterlambatan sebenarnya bukan hanya merugikan para penumpang saja, melainkan juga pramugari dan seluruh awak maskapai yang bertugas?
Sebelum penumpang menaiki pesawat (boarding), pramugara dan pramugari harus melakukan safety and cabin check terlebih dahulu. Ini dilakukan untuk memastikan semua peralatan keselamatan aman serta bisa digunakan di saat situasi darurat muncul. Semua kursi di setiap zona harus memiliki life vest dan juga safety information card sebagai panduan bagi para penumpang tentang evakuasi. Sayangnya, selain jarang memperhatikan safety demo, para penumpang kerap kali menjadikan kedua benda wajib ada tersebut sebagai suvenir untuk dibawa pulang.
Ini memperlambat tugas safety check pramugari dan pramugara yang akan bertugas di penerbangan selanjutnya. Bila ada sebuah kursi yang kehilangan life vest dan safety information card, maka dia harus mencari penggantinya dan meletakkan di tempat kedua benda tersebut seharusnya berada. Dan biasanya bukan hanya satu dua kursi saja yang raib kelengkapannya.
Pada penerbangan saya ke Cairo, Mesir beberapa waktu lalu, saya mencatat ada 3 life vest hilang dari zona saya. Saya pun harus mengambil penggantinya untuk diletakkan di seat pocket tempat life vest tersebut seharusnya berada. Itu baru dari zona saya, entah berapa yang hilang dari zona lain.
Menurut Rozaimi, salah satu inflight manager di maskapai tempat saya bekerja, harga sebuah life vest berkisar SAR 800 atau sekitar Rp 2.509.000. Semakin banyak life vest yang hilang, semakin banyak pula kerugian maskapai serta semakin lama pula tugas safety check yang harus dilakukan.
Delay biasanya disebabkan oleh alasan teknis dan keselamatan, bukan karena keterlambatan para awak kabin ataupun para pilot. Refueling (pengisian bahan bakar pesawat) maupun aircraft maintenance merupakan penyebab keterlambatan paling umum.
Keberangkatan juga bisa terlambat bila pesawat yang dijadwalkan berangkat belum lagi landing dari penerbangan sebelumnya. Bisa karena alasan cuaca dan banyak hal lainnya. Tapi para penumpang tidak mengetahui tentang hal ini dan kerap kali berwajah masam ketika boarding, seolah keterlambatan tersebut disebabkan oleh para awak kabin yang bertugas.
Padahal kerugian akan keterlambatan tersebut bukan hanya diderita oleh para penumpang, tapi juga oleh seluruh kru yang bertugas dan juga maskapai tersebut. Untuk setiap delay, maskapai akan dikenakan denda sebesar USD 10,000 atau sekitar Rp 117.000.000 untuk 15 menit pertama keterlambatan.
Bayangkan saja berapa besarnya denda yang harus ditanggung bila pesawat mengalami delay selama satu atau dua jam. Dari segi bisnis dan finansial, mana ada sih maskapai yang mau pesawatnya terlambat terus.
Semakin lama waktu keberangkatan diundur, maka akan semakin lama pula waktu mendarat di tujuan. Bila dalam hari itu hanya ada 1 sektor penerbangan saja, mungkin tidak akan terlalu jadi masalah. Tapi bila pada hari itu kru yang bertugas harus melayani penumpang untuk 2, 3 atau bahkan 4 sektor penerbangan (biasanya 3-4 sektor ini dialami oleh awak kabin maskapai low-cost), maka akan semakin banyak wajah masam yang harus mereka sapa saat boarding.