[caption id="attachment_244469" align="aligncenter" width="580" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption]
A pen is mightier than a sword. (Edward Buller-Lytton)
Ungkapan yang sangat terkenal itu dibuat oleh Lytton saat menggarap drama Richelieu di tahun 1839. Saya adalah salah satu dari sekian juta (atau mungkin lebih) orang yang mengamini kata-kata tersebut. Kekuatan sebuah tulisan bisa berdampak besar pada seseorang, entah baik atau buruk. Sebuah tulisan bisa membawa seseorang menuju ke puncak ketenaran, namun bisa juga mengantar penulisnya ke penjara. Mungkin inilah yang tengah dialami oleh penulis novel bestseller Andrea Hirata dan pengamat buku sekaligus blogger Kompasiana Damar Juniarto.
Pasti sudah banyak yang mendengar kisruh antara kedua orang tersebut lantaran adanya perbedaan argumen tentang definisi bestseller yang disematkan dalam novel Laskar Pelangi karangan Andrea. Dalam postingannya di Kompasiana pada 13 Februari lalu, Damar menulis opininya tentang klaim sang pengarang mengenai gelar international bestseller tersebut. Sebagai publisis dan pengamat dunia perbukuan, Damar tidak serta-merta menulis opininya, melainkan bertanya kepada beberapa pihak terkait seperti CEO Bentang Pustaka Salman Faridi dan Maggie Tiojakin, penulis yang akrab menggeluti karya-karya sastra internasional. (Baca ulasan yang dibuat Damar di sini).
Bisa dilihat bahwa Damar membuat sebuah usaha yang lebih daripada kebanyakan blogger dalam menulis kritik, yaitu bertanya kepada orang-orang yang terkait dengan penerbitan novel karya Andrea dan juga menanyakan opini sesama penulis.
Adapun keterangan Andrea mengenai betapa lamanya menunggu kehadiran karya penulis Indonesia yang mendunia selama seratus tahun dipertanyakan Damar dengan menyertakan link website berita yang mengutip ucapan sang pengarang. Dia juga memaparkan sejumlah nama sastrawan Indonesia yang mendahului Andrea dalam mengharumkan nama negara di tingkat internasional melalui karya mereka, seperti Pramoedya Ananta Toer, NH Dini, dan YB Mangunwijaya.
Saya kira tak ada yang tidak setuju bahwa ketiga nama tersebut telah lebih dulu mendunia dibandingkan Andrea karena kekuatan tulisan mereka yang luar biasa. Jadi saya tidak melihat bahwa opini ini patut dipermasalahkan bila Andrea sudah membantah maksud ucapannya tersebut di media (bisa dibaca di sini).
Selain itu, persoalan yang juga mengusik Andrea dalam tulisan Damar adalah mengenai klaim penerbitan Laskar Pelangi oleh penerbit besar sekaliber Farrar, Straus and Giroux (FSG) di bulan Februari 2013. Menurut tulisan Damar, buku tersebut diterbitkan oleh salah satu imprint dari FSG, yaitu Sarah Crichton Books, Bila FSG dikenal hanya menerbitkan karya-karya sastra pilihan yang tidak menekankan sisi komersil buku, Sarah Crichton Books sebaliknya. Bukan berarti Sarah Crichton Books tidak berkelas sebagai penerbit, namun ada dua fondasi berbeda dalam penerbitan buku-buku di bawah naungan mereka. Atas tulisan Damar ini, Andrea pun membantahnya lewat media dan bersedia menunjukkan bukti kontrak yang ditandatanganinya sebagai penulis dengan FSG sebagai penerbit (baca di sini).
Jadi apa lagi yang menjadi masalah bagi Andrea? Hak jawab sudah digunakannya di media. Tak sedikit penggemar yang mendukungnya untuk mengacuhkan tulisan Damar dan tetap melanjutkannya untuk terus berkarya agar citranya yang dirugikan bisa luntur dengan sendirinya.
Namun rupanya bantahan di media dan konferensi pers di ruang publik dirasa belum cukup. Andrea akan membawa tulisan Damar ke meja hijau karena merasa dirugikan.