Kondisi politik Indonesia saat ini terasa sangat kompleks dan penuh dengan ancaman terhadap supremasi hukum serta fenomena politik yang menimbulkan gesekan. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengalami sejumlah peristiwa politik yang menimbulkan kekhawatiran terhadap stabilitas dan keamanan negara. Dengan Pemilu 2024, stabilitas negara menjadi isu krusial yang harus diperhatikan.
Salah satu tokoh politik yang mencuri perhatian adalah Prabowo Subianto. Baru-baru ini, pernyataannya memicu minat dan perdebatan yang signifikan di kalangan masyarakat. Dalam beberapa wawancaranya dengan media, Prabowo menekankan komitmennya agar pemerintah bisa memberikan makanan gratis kepada semua warga, mengurangi biaya UKT, dan memperbaiki platform media sosial. Pertanyaan mengenai kelayakan dan moralitas rencana tersebut muncul, khususnya dalam konteks Pemilu 2024.
Kebutuhan Makan Gratis: Populisme atau Realitas?
Usulan makan gratis yang dilontarkan Prabowo didasarkan pada kepeduliannya terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia. Menyediakan kebutuhan dasar seperti makanan sangat penting bagi kesejahteraan masyarakat, terutama pada saat krisis. Dalam konteks Pemilu 2024, hal ini bisa dilihat sebagai langkah populisme yang bertujuan untuk menggalang dukungan massa dengan menjanjikan manfaat nyata. Namun, kepraktisan rencana tersebut masih dipertanyakan.
Pemerintah Indonesia sudah menghadapi tantangan besar dalam menyediakan layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan, apalagi dengan makanan gratis bagi seluruh warga negara. Biaya program ini akan sangat besar, dan tidak jelas bagaimana pemerintah akan mendanainya tanpa mengorbankan layanan penting lainnya atau menaikkan pajak. Realokasi dana dari sektor lain bisa berdampak negatif pada kualitas layanan yang diberikan, hingga dapat menimbulkan pertanyaan tentang prioritas anggaran negara.
Media Sosial dan Pemilu: Fokus yang Terbagi
Pernyataan Prabowo mengenai perbaikan platform media sosial sebelum pemerintah mengatasi masalah makanan gratis menyoroti pentingnya teknologi dalam politik modern. Media sosial telah menjadi alat penting dalam kampanye politik, memungkinkan kandidat menjangkau khalayak yang lebih luas dan berinteraksi langsung dengan pemilih. Namun, keandalan dan keakuratan informasi di media sosial menjadi faktor krusial dalam membentuk opini publik.
Fokus pemerintah dalam membenahi platform media sosial sebelum menangani isu-isu mendesak seperti makanan gratis dapat dilihat sebagai pengalihan perhatian dari masalah yang lebih mendesak. Prabowo juga menekankan pentingnya memperkuat demokrasi melalui pemanfaatan teknologi dan media sosial. Pengembangan platform ini memberikan masyarakat lebih banyak suara dalam proses politik, dan memastikan bahwa kekuasaan tetap berada di tangan rakyat, bukan ditangan segelintir elit.
Pendidikan dan Kapitalisme: Tantangan UKT
Prabowo juga menyoroti perlunya peralihan dari pendekatan kapitalis terhadap pendidikan, yang menurutnya telah mengarah pada komersialisasi pendidikan. Pendidikan seharusnya dipandang sebagai barang publik dan tanggung jawab sosial negara, bukan komoditas yang dipasarkan. Perspektif ini relevan dengan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, dimana biaya pendidikan tinggi semakin membebani banyak mahasiswa. Hal tersebut akan bertentangan dengan tujuan awal pendidikan sebagai hak dasar setiap warga negara yang seharusnya diakses tanpa beban finansial yang berat.Â
Prabowo berpendapat bahwa perguruan tinggi negeri yang dibangun menggunakan dana publik (APBN) seharusnya menetapkan biaya kuliah yang rendah, dan jika memungkinkan bisa gratis. Tetapi hal tersebut dapat menimbulkan keterbatasan anggaran yang dapat berdampak pada APBN itu sendiri dan mengurangi dana untuk sektor lain. Selain itu, kualitas pendidikan dan kesiapan infrastruktur juga akan berdampak pada kualitas perguruan tinggi negeri, dimana pendanaan yang kurang untuk meningkatkan fasilitas, tenaga pengajar, dan masalah administrasi. Oleh karena itu, diperlukan keputusan yang matang dan bijaksana dalam penanganan pengurangan biaya UKT ini.Â