Mohon tunggu...
Dorlan Tampubolon
Dorlan Tampubolon Mohon Tunggu... -

Pegawai swasta yang mengagumi tanggal merah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck - Sebuah Perayaan

31 Januari 2014   21:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:17 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1391176788918960943

[caption id="attachment_319499" align="aligncenter" width="300" caption="Source Pict: http://www.tempo.co/read/news/2013/12/16/"][/caption] January 2014, kembali saya duduk dalam bioskop untuk menikmati film Indonesia. Perilaku saya ini bisa dianggap sebagai ketidaklaziman karena pada umumnya kehadiran film Indonesia sedikit mendapat tempat untuk dirayakan dalam bioskop. ‘Bentar lagi juga tayang di TV, ngapain juga pake nonton ke bioskop?’ atau komentar seperti, ‘Halah, kayak bagus aja filmnya. Mending nonton film Hollywood.’ Beginilah yang sering saya dengar. Bahkan dalam jajaran lapak DVD orisinil maupun bajakan, film Indonesia hanya diberi sedikit tempat. Serbuan film Hollywood, Korea dsbnya justru meraja dan lebih unggul. Sedangkan saya sendiri, sudah percaya terhadap opini publik tentang kualitas film negeri ini. Sempat menganggap bahwa bioskop itu mirip dengan kuburan, dimana isinya hanya seputar hantu gentayangan yang dibumbui kesensualitasan. Yang seharusnya film bisa dijadikan sebagi perwakilan citra budaya suatu bangsa, justru membuat saya berpikir picik bahwa Indonesia tidak jauh dari hantu-cabul. Inilah sebabnya saya enggan melirik film Indonesia. Hingga pada suatu kesempatan, untuk  pertama kalinya saya menyambut antusias film Indonesia yang berjudul 5 CM. Sederhana saja, saya sudah terlebih dulu menyukai novelnya. Walau film yang berdurasi hampir 130 menit ini masih belum mampu memuat semua kekayaan filosofi yang terbentang di novelnya, saya dengan senang hati tetap mengapresiasi film 5 CM. Dan sekarang giliran TKVDW. Pada awalnya, ketika menyaksikan trailer film ini, saya spontan mencibir kesal bahwa film ini dibuat semata-mata menirukan keberhasilan Titanic. Indonesia hanya bisa meniru. Begitulah, saya yang silap menyimak penggalan informasi bahwa kisah ini diadaptasi dari sebuah novel yang berusia kurang lebih 75 tahun. Belakangan saya ketahui, Indonesia punya kisah Van Der Wick. Hollywood punya Titanic. Keduanya tidak berhubungan. Adegan demi adegan pada TKVDW membawa saya kepada kekayaan Indonesia. Di sini saya terbuai melihat Indonesia melalui keunikan negeri-negeri (Padang-Batavia-Surabaya-Makassar) dan pameran dialek khas mereka. Kemudian dialog yang terdengar seperti sajak, kuatnya ke-Melayu-an sebuah Indonesia yang klasik. Belum lagi tentang pola pikir para leluhur yang memegang teguh adat, menganggap bahwa seseorang tidak pantas hidup jika mencoreng aturan adat. Sayangnya adat yang dijunjung tinggi ini ternyata buta dalam menimbang persoalan hidup. Adalah Aziz, sosok yang dihidupkan untuk menyentil kebutaan adat ini. Tetapi dalam sudut pandang yang lain, saya bisa bertepuk tangan atas kecongkakan adat tersebut. Betapa ngototnya anak-anak manusia ini dalam melestarikan tata cara berkehidupan. Kekaguman yang samapun pernah singgah pada negara Jepang yang secara konsisten dan kreatif memelihara budaya mereka sekalipun zaman terus berubah. Jepang muncul dengan keunikannya tersebut. Apakah Indonesia pernah segigih ini dalam berbudaya? Jawabannya iya, walau dilaksanakan dengan kolot. Harus diakui bahwa rasa haru berbuncahan ketika duduk asyik menikmati TKVDW. Saya menyadari bahwa pada saat itu saya sedang merayakan Indonesia. Saya terpukau. Dari apa yang saya alami, ndak elok rasanya jika belum berterima kasih kepada Soraya Intercine Films yang sudah memilih dan bekerja keras memproduksi TKVDW sebagai kisah yang layak untuk dinikmati. 5 CM lalu TKVDW, menggiring saya pada perjalanan untuk mulai melirik film Indonesia. Terima kasih juga kepada Buya Hamka yang berani membukukan hati nuraninya, mempertentangkan secara santun keagungan adat yang konservatif. Dan yang terakhir terima kasih kepada Engku Zainuddin dan Encik Hayati yang kisah hidupnya dibuat menderita sebegitu rupa demi tersampaikannya kritik sosial. Walaupun saya bukan pengamat budaya atau perfilman Indonesia, tetapi saya sungguh menantikan kualitas bangsa yang disuguhkan dalam bentuk penayangan gambar hidup--film. Oleh karena itu, majulah perfilman Indonesia! Cinta kan slalu abadi, walau takdir tak pasti. Kau selalu di hati, cinta matiku. Seraya aku berdoa, merayakan cinta, kau selalu kujaga.~ (Sumpah Mati | Nidji) ***

-Dorlan-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun