Mohon tunggu...
Deddy Arifin
Deddy Arifin Mohon Tunggu... -

Mencoba terus belajar .....

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menggugat Sistem Pendidikan Negeri Ini........(1)

1 November 2012   09:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:07 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah lebih dari setengah abad sejak kita merdeka, pendidikan negeri ini tak beranjak baik. Kenapa saya bilang demikian ? Karena kalau kita mengacu kepada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2011, Indonesia berada pada urutan 124 dari 187 negara, dengan indeks 0.617. Memang meningkat tipis dari tahun sebelumnya yaitu 0.613

Kalau dibandingkan dengan negara lain di ASEAN, Indonesia memang lebih baik dari Vietnam (0.593), Laos (0.524) dan Kamboja (0.523). Dan Singapura pada urutan pertama (0.866), disusul Brunei (0.838), Malaysia (0.761), Thailand (0.682) dan Philipina (0.644).

Sebagai gambaran untuk mengukur IPM ini ada 3 indikator yang diukur yaitu kesehatan (harapan hidup), akses pendidikan serta pendapatan perkapita (daya beli). Indeks Pendidikan itu sendiri menyumbang porsi bagi IPM adalah 2/3 (indeks melek huruf) + 1/3 (indeks rata-rata lama sekolah).

Oke kita lupakan lupakan dulu hitungan perbandingan diatas, karena yang menarik bagi saya adalah bahwa IPM Indonesia kalah dengan negara tetangga seperti Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand dan Philipina. Saya pikir kalau untuk Singapura memang cukup jauh sekali nilai indeksnya.

Yang menarik adalah Malaysia. Seperti kita ingat akhir tahun 60an dan 70an mereka mengirim banyak guru untuk belajar dan sekolah di Indonesia. Jadi saat itu bisa dibayangkan bahwa mereka sendiri masih banyak belajar untuk mengelola dan membuat sistem pendidikan yang baik di negerinya

Dan kenyataannya hari ini kalau mau jujur sistem pendidikan mereka lebih baik dari Indonesia, dimana 40 -50an tahun yang lalu mereka belajar dari kita Indonesia. Tak dapat dipungkuri bahwa banyak juga mahasiswa kita yang belajar di Universitas dan Perguruan tinggi di Malaysia.

Saya coba mengutip dari sinopsis buku yang ditulis Bambang Sumintono seorang dosen Ilmu Pendidikan di Universiti Teknologi Malaysia berkebangsaan Indonesia berjudul ”Belajar Heran dari Negeri Jiran” mengatakan, ”Penulis mendapati bahwa dunia pendidikan di Malaysia dikelola dengan baik. Adapun pendidikan calon-calon guru yang diselengarakan perguruan tinggi juga sudah tertata rapi jika dibandingkan dengan Indonesia. Ditambah pula, saat ini Malaysia ingin menambah jumlah universitas risetnya untuk menyajajarkan diri dengan negara-negara maju lainnya.”

Apakah karena jumlah penduduk Malaysia tak sebanyak Indonesia sehingga pengelolaan sistem pendidikan Indonesia jauh lebih rumit dibandingkan Malaysia ? Saya pribadi melihat ini terlalu naif kalau jumlah penduduk yang besar dengan demografi yang menyebar di berbagai pelosok menjadi alasan. Seolah-olah kita mencari pembenaran atas kurang berhasilnya sistem pendidikan memajukan IPM. Walaupun tak dapat dipungkiri ini adalah kendala tapi harusnya kita ingat orang bijak yang mengatakan bahwa : orang pesimis melihat masalah adalah sebuah hambatan, tapi orang optimis melihat masalah dan hambatan adalah sebuah tantangan.

[caption id="attachment_207036" align="alignleft" width="224" caption="Tut Wuri Handayani"][/caption]

Jadi jika pemerintah ada mengatakan bahwa jumlah penduduk dan demografi penduduk adalah sebuah masalah dan kendala, berarti bisa dipastikan lebih dari setengah abad ini pemerintah membangun sistem pendidikan ini dengan rasa pesimis. Jadi wajar saja, negara tetangga sudah berlari untuk mensejajarkan diri dengan negara maju, tapi kita masih terus tertatih-tatih berjalan mencari seperti apa sistem penddidikan yang tepat.

Apakah kita sudah mempunyai sistem pendidikan yang benar ? Sebelum menjawab pertanyaan ini masih kita lihat kebelakang apa yang pernah kita alami waktu kita sekolah dahulu.

Dari dulu sampai hari ini ketika berganti kebijakan dalam jajaran Departemen Pendidikan, kita sering di kejutkan dengan gantinya kebijakan pendidikan. Setiap pergantian menteri sering diikuti dengan pergantian kurikulum. Pergantian kurikulum pada tingkat teknis dilapangan misalnya bedanya buku yang digunakan anak didik hanya dalam hitungan tahun. Ganti menteri, ganti kebijakan, ganti menteri ganti kurikulum, ganti menteri ganti sistem, ganti menteri ganti......

Dan sampai hari ini pun masih terus terjadi. Kita lihat saja rencana pemerintah mengurangi jumlah mata pelajaran sekolah dasar dari 11 menjadi 7 pelajaran saja. Rencana ini akan diujicobakan pada Ferbuari 2013 dan akan dimplementasi pada tahun ajaran 2013/2014 atau pada bulan Juli 2013.

Beberapa pihak mempertanyakan ini, apakah mengganti dengan mengurangi jumlah mata pelajaran SD adalah sebuah solusi dari sebuah kajian yang mendalam ? Ada yang menilai ini adalah sebuah tindakan pragmatis dari pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan ketika banyak pihak menyalahkan pemerintah dalam merancang kurikulum sekolah sehingga mengakibatkan beratnya beban pelajaran anak didik yang mengarah pada tindakan anak didik untuk melampiaskan pada tawuran antar sekolah, tindakan kriminal, kekerasan di sekolah, dst.

Ironis sekali kalau ini bukan hasil kajian yang mendalam, karena anak didik menjadi kelinci percobaan. Seolah ini adalah sebuah solusi trial and error yang nanti setelah dievaluasi ternyata hasilnya tidak seperti yang diharapkan maka akan dicari solusi lain lagi. Tambal sulam, perbaikan sistem pendidikan negeri ini mengorbankan anak didik menjadi taruhan. Sudah saatnya para stakeholder pendidikan (khususnya orangtua, karena orangtua adalah stakeholder pendidikan terbesar) menggugat ini.

Sistem pendidikan negeri ini seolah dibangun tanpa sebuah pondasi yang tepat. Malah penulis berpendapat bahwa sistem pendidikan negeri ini tidak dibangun dari sebuah pondasi apapun. Kalau pemerintah sudah mempunyai sistem pendidikan yang baik dibangun berdasarkan pondasi yang baik pula, seharusnya bisa tertuang dalam sebuah cetak biru pendidikan.

Dan sampai hari ini pun kita belum punya Cetak Biru Sistem Pendidikan Indonesia. Sampai kapan ? Entahlah...dan bisa dibayangkan sistem pendidikan negeri ini yang dibangun tidak dalam sebuh pondasi yang benar maka jangan berharap banyak akan menghasilkan sebuah generasi yang cerdas, terampil, berkarakter, berakhlak, mandiri dan menjadi pemimpin yang berintegritas.

Negeri ini masih berharap banyak pemimpin yang mempunyai integritas dalam membangun bangsa. Kalau kita mau bermimpi banyak menghasilkan pemimpin cerdas, bervisi kedepan dan mempunyai integritas, maka perbaikilah sistem pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun