Mohon tunggu...
Deddy Arifin
Deddy Arifin Mohon Tunggu... -

Mencoba terus belajar .....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bersepeda atau Tunggu Jalur Sepeda?

16 April 2011   05:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:45 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sewaktu sedang istirahat menunggu keringat kering dan mandi,  setelah mengayuh sepeda dari rumah menuju kantor, sempat terjadi perbincangan kecil di Musholla dengan seorang Bapak. Dengan basa basinya layaknya kita orang timur, menanyakan tentang saya yang masih mengenakan baju dan celana sepeda. Saya ceritakan sekilas kegiatan B2W yang baru saya lakukan. Dengan komentar singkatnya, ditanyakan apakah ngga rawan kegiatan B2W (dengan sedikit bhs inggrisnya) bahwa harus berpacu dengan kendaraan bermotor lainnya. Beberapa komentar teman-teman yang mengkomentari kegiatan B2W, banyak sekali. Ada yang berminat, tapi hanya sekedar minat dengan alasan ngga anda tempat mandinya, ngga ada buat jemur handuk. Komentar Bapak yang diatas mempertanyakan keamanan bersepeda (karena belum dibangunnya jalur khusus sepeda), kemudian membandingkan  dengan negeri BELANDA, menjadi alasan lain. Penulis bilang akan seperti kasus TELUR dan AYAM, ketika orang memperdebatkan : apakah harus dibangun jalur sepeda dulu atau bersepeda memasyarakat baru bangun jalur sepeda. Debat yang tak ada habisnya. Ketika orang mengeluhkan macetnya jalanan kota, seperti kota besar Jakarta, sepeda bisa jadi semacam alternatif solusi untuk kaum urban seperti saya.  Berbagai macam solusi yang coba ditawarkan pemerintah, mulai dari pembangunan ruas jalan baru, jalan layang, jalur khusus BUS ( seperti TransJakarta, Trans Jogja), pajak progresif kendaraan bermotor, menaikkan pajak kendaraan bermotor, jalur 3 in 1, dsb. Tumbuh pesatnya kendaraan motor, khususnya kendaraan motor roda 2 di kota-kota besar, salah satunya disebabkan gagalnya pemerintah, khususnya pemerintah kota membangun transportasi yang aman, nyaman, murah dan memadai dari Kota Besar ke kota penyangga ( kalo di jakarta terkenal dengan istilah JABODETABEK). Kegagalan ini menyebabkan kaum urban mencari transportasi alternatif lain yang pilihannya : sepeda motor. Apalagi sekarang didukung dengan mudahnya orang mendapatkan kendaraan bermotor roda dua, yang ditawarkan perusaahaan-perusahaan pembiayaan kendaraan bermotor. Dengan DP yang murah, persyaratan administrsi yang mudah dan jangka cicilan yang menggiurkan,  tumbuh pesatlah jumlah kendaran bermotor yang satu ini. Ada satu kebiasaan pemerintah kita yang menurut penulis, sering diterapkan dalam berbagai masalah, yaitu Management by Accident ( saya ngga tahu istilah yang tepat dalam bhs inggrisnya). Yaitu melakukan action setelah masalah terjadi. Jadi melakukan tindakan kuratif dari pada preventif. Beberapa studi yang dilakukan berkaitan dengan kemacetan ini,  kira-kira  menjelaskan bahwa pada tahun 2014, Jakarta akan terjadi kemacetan Total.  Penulis tidak tahu persis, tindakan apa yang telah dilakukan pemerintah kota Jakarta untuk mengatasi ini. Penulis yakin pemerintah kota Jakarta sudah melakukannya, tapi sebagai orang awam, penulis melihat koq, study yang dilakukan itu seperti jadi kenyataan. Bayangkan Jakarta beberapa tahun belakangan biasanya kemacetan terjadi pada jam orang berangkat/pulang kerja, tapi  sekarang bisa terjadi sepanjang hari, kecuali agak lengang di weekend atau libur panjang Idul Fitri. Kalau saya berpikir logika awam, tindakan apa sich yang telah dilakukan sehingga pemerintah, sampai hari ini kemacetan masih terjadi. Di satu sisi saya juga mengerti bahwa mengatasi kemacetan kota Jakarta bukan perkara mudah seperti membalik telapak tangan. Berbagai tindakan yang telah dilakukan, sampai ada wacana memindahkan Ibu Kota ke Kalimantan, yang nota bene  Pulau Kalimantan adalah salah satu pulau yang bebas dari patahan penyebab gempa bumi dan jauh dari letusan gunung berapi besar. Sebenarnya ini adalah idenya Presiden kita pertama dulu, Bung Karno, yang sampai hari ini masih relevan. Saya salut dengan visioner Bung Karno yang satu ini. Kemudian ada ide memindahkan sebagian Departemen seperti Depdiknas ke Yogyakarta, Depag ke NAD, departemen kelautan ke Maluku, dst. Kita tahu hampir semua Departemen Pusat ada di Jakarta. Ketika ini menjadi wacana, retorika dan berbagai altenatif mengatasi kemacetan di bahas di seminar-seminar, kemacetan telah dan terus terjadi. Biaya macet yang sangat mahal (dijelaskan mencapai 46 Trilyun per tahun) ini akan terus membuat kita miris mendengarnya. Kalau biaya sebesar itu di salurkan untuk memperbaiki sekolah-sekolah yang rusak, bayangkan berapa banyak gedung sekolah yang akan terehabilitasi. Kalau biaya sebesar itu untuk mengatasi masyarakat miskin kota, berapa banyak orang miskin yang bisa terbantukan. Kembali ke kegiatan bersepeda, penulis yakin hampir sebagian besar pembaca disini mempunyai masa kecil bersepeda. Mungkin sebagian ada yang masih menyimpan/masih ada  sepedanya. Bayangkan masa kecil bersepeda merupakan salah satu masa kebahagian kita kecil dulu. Ketika pertama kali kita bisa mengayuh sepeda dulu, ada rasa exciting yang luar biasa. Rasanya tiada hari tanpa sepeda. Hampir banyak kegiatan dimasa kecil kita lakukan dengan bersepeda, mulai dari bermain ke rumah teman, ke sekolah, te tempat les, dimintakan tolong orang tua untuk ke satu tempat bahkan ikut lomba sepeda hias pada saat tujuhbelasan Agustus. Begitu indahnya masa bersepeda kita kecil dulu Tapi setelah kita dewasa, hanya sebagian kecil yang meneruskan kebiasaan itu. Sebagian masih menggunakan untuk mengantar anak sekolah, berbelanja ke pasar/warung, B2W, dsb. Atau masih melakukannya sebagai kegiatan di akhir pekan. Kenapa rasa exciting bersepeda di masa kecil tidak terus berlanjut sampai  kita dewasa ? Berkaca kepada pemerintah Inggris yang memberikan insentif kepada warganya yang bisa mengurangi berat badannya, berhenti merokok dan berjalan kaki ke tempat tujuan. ”Kami akan memperluas program pemberian insentif keuangan bagi orang-orang yang memiliki kebiasaan hidup sehat, selama ada bukti yang mendukung,” tutur seorang juru bicara Departemen Kesehatan. Dalam uji coba program di wilayah Kent, seseorang yang berhasil mencapai target pengurangan berat badan tertentu dan bisa mempertahankan selama 24 bulan akan mendapat insentif sebesar 425 poundsterling (Rp 5,9 juta). Di London, pengelola transportasi publik akan memberikan tiket menonton film atau voucer belanja kepada anak-anak sekolah yang mau berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Seandainya pemerintah kita bisa juga memberikan insentif kepada warganya yang mau menggunakan transportasi yang tidak menggunakan BBM, mungkin bisa memacu masyarakat kita untuk bersepeda. Menurut saya harus ada studi untuk ini. Tapi menurut penulis, insentif tidak harus berbentuk langsung seperti di Inggris tadi, tapi bisa berupa yang lain. Misalnya :  insentif pajak terhadap import sepeda dan asesoriesnya, memberikan tax holiday bagi industri sepeda dan asesoriesnya, pemberian potongan pajak bagi warga yang bisa mengurangi konsumsi BBM nya, termasuk membangun bike lane di jalur perkotaan. Kemudian juga mengkampanyekan bersepeda ke tempat kerja melalui media TV dan media lainnya, khususnya yang jarak rumah ke tempat kerja dibawah 8 Km. Menurut pengalaman penulis, jarak dibawah 8 km (dengan asumsi 15 Km pulang pergi, tidaklah terlalu berat). Akan memberatkan diawal dan kalau terbiasa, jarak sedekat itu tidak membebankan. Memang tidak harus tiap hari menggunakan bersepeda ke tempat kerja, tapi paling tidak mengurangi konsumsi BBM dan selain menjadi sehat, polusi di perkotaan bisa dikurangi. Bayangkan dengan solusi  ini, setidaknya menambah sederet solusi alternatif yang telah dilakukan pemerintah. Mungkin saja ongkos kemacetan bisa dikurangi . Solusi ini juga tidak menganjurkan orang untuk tidak mempunyai kendaraan bermotor, tapi mengurangi frekuensi pemakaiannya. Mengurangi kebiasaan menghabiskan BBM. Bukan hanya karena harganya yang terus melonjak, tapi juga karena jumlahnya yang terus terbatas. Penulis pribadi termotivasi salah satunya, selain olah raga, juga karena ingin membatasi pemakaian BBM, bukan karena tidak mampu untuk mendapatkannya tapi karena jumlah yg terus terbatas dan isu pemanasan global. Bahkan penelitian terakhir menyebutkan Bumi kita ini di tahun 2050, tidak layak huni karena temperaturnya sangat tinggi  (http://nationalgeographic.co.id/lihat/berita/951/tahun-2500-bumi-tak-layak-huni). Salam Gowes, (dear : dari berbagai sumber)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun