Hasil kategori dan identifikasi sosial menciptakan suatu identitas yang melekat pada diri seseorang sehingga memberikan rasa percaya diri. Perasaan tersebut mendorong seseorang untuk membandingkan kelompoknya dengan kelompok lain. Perbandingan seringkali cenderung membuat seseorang untuk berusaha menguntungkan kelompoknya sendiri untuk menambah nilai kebanggaan.
Perbandingan antarkelompok berisi aspek-aspek in-group dan out-group yang menciptakan sebuah bias yang mendasari perilaku-perilaku manusia, salah satunya nepotisme. Teori ini menyatakan bahwa seseorang memiliki kecenderungan alami untuk memandang kelompok mereka secara positif, sementara bersikap netral atau bahkan negatif terhadap kelompok luar dengan tujuan meningkatkan citra diri.
Praktik nepotisme dilakukan dengan dasar perasaan ingin memajukan anggota kelompoknya di lingkup politik. Para pelaku nepotisme tak segan untuk mengangkat anggota keluarga atau kroninya menjadi bagian dari pemerintahan meski tidak memiliki kualifikasi yang cukup. Hal tersebut memberikan dampak buruk, diantaranya:
Jabatan ahli diisi oleh individu yang tidak memiliki keahlian dalam bidangnya sehingga menghambat kemajuan dalam bidang tersebut.
Mencegah seseorang yang benar-benar ahli untuk berkontribusi dalam bidangnya.
Menyalahi asas keadilan yang memberikan kesempatan sama bagi seluruh warga untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan negara.
Meningkatkan kesenjangan sosial.
Menyebabkan terjadinya pemerintahan yang berpihak pada pihak berkepentingan dan merugikan pihak yang sebenarnya membutuhkan.
Mendorong ketidakadilan yang berkelanjutan dan menghambat kemajuan suatu negara.
Melalui teori identitas sosial, manusia memang ditinjau memiliki kecenderungan untuk berpihak  dan mengedepankan kelompoknya. Hal tersebut seharusnya mendorong seseorang untuk mengerti batasan alamiah dirinya sebagai manusia untuk tetap mengedepankan normal sosial dan kepentingan khalayak umum di atas bias kepentingan golongannya.
Adapun nepotisme tidak akan pernah mendapat pembenaran karena dampak negatifnya yang masif. Seseorang yang menjadi pemimpin atau pemegang kekuasaan harus dapat mengesampingkan kepentingan personal apabila sudah berada di lingkup regulasi kepentingan orang banyak.Â