Memasuki usia merdeka ke-79, Indonesia masih dalam usahanya untuk berkembang menjadi negara maju. Salah satu karakteristik negara maju adalah memiliki indeks pembangunan manusia yang baik, bila dikuantifikasi angkanya harus lebih dari 0,799. Adapun indeks yang baik untuk sumber daya manusia hanya mampu diperoleh apabila kualitas kesejahteraan hidup dan pendidikan juga baik. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh regulasi yang dibuat oleh pemerintah suatu negara dalam mengatur pelaksanaanya. Jadi, dapat dikatakan apabila sebuah negara ingin memiliki sumber daya manusia yang berkualitas untuk menjadi negara maju maka negara harus berisi orang-orang pemerintahan yang dapat membuat regulasi mumpuni dalam mengatur kesejahteraan hidup dan pendidikan warganya.
Sistem pemerintahan yang mampu menghasilkan kualitas baik harus bersih dan bebas dari praktik-praktik yang kotor, salah satunya bersih dari praktik nepotisme. Nepotisme merupakan segala bentuk perbuatan penyelenggara negara yang secara hukum diperuntukkan untuk menguntungkan kepentingan keluarga dan/atau kroni di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara [UU NO 28 Tahun 1999]. Praktik tersebut tentu bertentangan dengan prinsip kesetaraan dan asas-asas pemerintahan yang baik sehingga dapat merusakan tatanan masyarakat dengan semakin meluasnya kesenjangan sosial. Praktik nepotisme di Indonesia sejatinya sangat bertentangan dengan sila keempat dan kelima Pancasila, yakni segala bentuk kekuasaan dalam negara harus dilakukan oleh rakyat dengan bijaksana juga adil bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan adanya nepotisme, perkembangan manusia sebagai makhluk sosial butuh untuk berkembang di lingkungan sosial dapat terhambat karena pihak-pihak tertentu mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan.
Lantas, bagaimana sebenarnya praktik nepotisme apabila dikaji melalui perspektif psikologi?
Praktik nepotisme erat kaitannya dengan hubungan manusia dan identitas sosialnya. Adapun salah satu teori yang dapat membantu menganalisis mengapa seseorang dapat melakukan nepotisme adalah teori identitas sosial yang dikemukakan oleh Tajfel dan Turner. Teori ini menjelaskan proses kognitif dan kondisi sosial yang mendasari perilaku yang berkaitan dengan prasangka, bias, dan diskriminasi antarkelompok.Â
Tajfel mendefinisikan identitas sosial sebagai pengetahuan seseorang terhadap keanggotaan dirinya di dalam suatu kelompok.Â
Hogg & Abrams juga menyatakan bahwa identitas sosial merupakan suatu keterikatan, rasa peduli, dan rasa bangga sebagai seorang anggota dalam suatu kelompok tertentu. Teori ini menyatakan bahwa identitas sosial mampu menggolongkan seseorang ke dalam kelompok.
Identitas sosial didapatkan melalui tahapan kategorisasi sosial, identifikasi sosial, dan perbandingan sosial.
Kategori sosial
Hal ini merujuk pada kecenderungan seseorang menggolongkan dirinya dan orang lain ke dalam kelompok sosial berdasarkan atribut seperti ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan agama.
Identifikasi sosial
Begitu seseorang mengkategorikan diri ke dalam suatu kelompok, seseorang tersebut akan mengadopsi identitas kelompok tersebut dan memunculkan karakteristik yang khas.
Perbandingan sosial