Mohon tunggu...
deanty trihapsari
deanty trihapsari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Bakrie

Seseorang yang memiliki hobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dinamika Gerakan Sosial terhadap UU Pilkada 2024 dalam Implikasi Demokrasi di Indonesia

6 November 2024   09:44 Diperbarui: 6 November 2024   10:29 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penolakan Publik Terhadap UU Pilkada 2024

Aksi Sosial dan Perjuangan untuk Keadilan Demokrasi

Awal tahun 2021, rencana revisi UU Pemilu yang tercantum dalam Prolegnas 2020-2024 sempat menjadi perbincangan hangat. Sistem pemilu dirancang untuk mencerminkan dinamika politik dan beradaptasi dengan perubahan perilaku masyarakat. Namun, wacana revisi UU Pilkada yang baru saja mencuat menuai kontroversi dan kritik karena dianggap bertentangan dengan konstitusi. Masyarakat dari berbagai kalangan turun ke jalan untuk memprotes upaya DPR dan pemerintah merevisi UU Pilkada, mengingat putusan Mahkamah Konstitusi yang telah dijatuhkan sudah final dan mengikat. Dengan kondisi seperti ini menyebabkan tidak terstrukturnya regulasi serta kemungkinan terhambatnya pilkada yang semestinya inklusif serta transparan.

Pada 20 Agustus 2024, sebuah akal-akalan yang telah diubah oleh konstitusi di Indonesia memunculkan kecaman di berbagai daerah. Desakan serta gerakan warga guna menolak UU Pilkada direvisi yang diselenggarakan sejak 22 Agustus 2024 tercatat sebagai hari bersejarah. Dua hari sebelumnya MK membentuk putusan ambang batas suara pencalonan menyelaraskan total warga serta meminimalkan umur calon yang terakumulasi sejak pendaftaran. Secara cepat yang diprediksi bisa semakin membesar bila DPR tetap mengesahkan RUU sebagai Undang-Undang. Hal ini terjadi karena dianggap banyak kalangan menolak keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)

dikarenakan kontroversi yang dibentuk DPR yang mengakibatkan warga marah sebab tidak sesuai putusan sebelumnya dinilai sudah menjiwai antusias demokrasi dalam pilkada terkait syarat pencalonan yang dibuat. Kemarahan masyarakat terhadap pemerintah muncul akibat keputusan DPR yang menolak putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang aturan pencalonan kepala daerah. DPR mengabaikan usulan MK tentang ambang batas pencalonan yang seharusnya diterapkan berdasarkan jumlah penduduk dengan kisaran 6,5-10%, dan justru hanya menerapkannya kepada partai yang tidak memiliki kursi di DPRD. Selain itu, DPR juga mengubah batas usia minimal calon kepala daerah, yakni bupati/wali kota yang dilantik berusia minimal 25 tahun, sedangkan gubernur yang dilantik ditetapkan minimal 30 tahun oleh MK. Masyarakat menilai DPR tidak menghormati putusan MK tersebut dan lebih mengutamakan kepentingan politiknya sendiri, sehingga mengkhawatirkan kualitas kepemimpinan daerah di masa mendatang.

Dalam menganalisis gerakan sosial yang menolak UU Pilkada 2024, kita dapat menggunakan "Teori Sumber Daya Mobilisasi (Resource Mobilization Theory), Buchler berpendapat bila Mobilisasi Sumber Daya merupakan kerangka teori yang dominan dalam analisis gerakan sosial atau aksi kolektif" (Buechler, 1995). Teori ini menekankan proses sosial yang berkontribusi pada keberhasilan gerakan. Dalam teori ini fokus pada keputusan kolektif dan menekankan aspek ekonomi dan politik dari gerakan sosial. Dengan ini peneliti bisa mengamati bila pandangan dari teori ini ialah gerakan yang dilaksanakan tiap individu dengan kolektif yang mengacu pada hal yang berkaitan dengan politik serta ekonomi.

Dalam gerakan menolak UU Pilkada 2024 menjadi bukti nyata bagaimana teori Mobilisasi Sumber Daya bekerja dalam praktik. Gerakan ini menunjukkan bahwa keputusan kolektif, mobilisasi sumber daya, serta fokus pada aspek ekonomi dan politik merupakan faktor penting keberhasilan gerakan sosial (McCarthy & Zald, 1977). Turun aksi juga memerlukan strategi yang baik dan tepat untuk mencapai suatu kemenangan. Strategi mobilisasi, organisasi, dan komunikasi merupakan kunci yang harus diperhatikan. Mobilisasi bertujuan untuk menggerakkan massa dengan tujuan bersama. Gerakan kolektif yang dilakukan dengan para masyarakat ini perlu direncanakan dengan cermat agar mampu mengoptimalkan sumber daya serta potensi massa. Ini menampilkan bila meski banyak tantangan, gerakan sosial yang terorganisasi dengan baik dan didukung oleh masyarakat luas dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap kebijakan publik. Gerakan ini juga menunjukkan bahwa demokrasi masih hidup dan rakyat tidak akan tinggal diam saat hak-haknya terancam.

Lalu, terdapat teori lain untuk menyelesaikan permasalahan gerakan penolakan terhadap UU Pilkada 2024. Dalam buku "The Social Movement Society: Contentious Politics for a New Century, gerakan sosial ialah tindakan menentang yang dilakukan secara kolektif yang didasarkan pada tujuan dan solidaritas bersama dan berbentuk interaksi yang berhubungan dengan para elit, musuh dan pemegang otoritas" (Meyer & Tarrow, 1998 : 4). Gerakan-gerakan ini pada umumnya terbentuk karena isu atau masalah tertentu yang sering kali menjadi politis (Drake, 2013). Dengan melalui kacamata Teori Deprivasi Relatif dapat menjelaskan bahwa gerakan sosial muncul ketika individu atau kelompok merasakan ketidakadilan dan ketidakpuasan relatif terhadap kelompok lain yang dianggap lebih beruntung. Dalam konteks ini, masyarakat yang terlibat dalam gerakan ini mungkin merasa bahwa UU Pilkada 2024 mengancam hak-hak mereka dan menciptakan ketimpangan dalam akses politik.Perasaan ketidakadilan dan ketidakpuasan ini mendorong mereka untuk melakukan tindakan kolektif, seperti demonstrasi dan protes, untuk menentang UU Pilkada 2024 dan memperjuangkan hak-hak mereka.

Maka dengan ini, saya sepakat bahwa solusi yang lebih demokratis dan inklusif untuk menjaga demokrasi lokal adalah dengan memperkuat sistem pemilihan langsung, bukan mengubahnya menjadi tidak langsung. Memang, politik uang, konflik, dan biaya tinggi menjadi masalah dalam pemilihan kepala daerah, tetapi solusi yang tepat adalah meningkatkan transparansi dan pengawasan yang ketat, bukan mengabaikan hak rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung. Mencabut hak pilih secara langsung sama saja dengan mencabut salah satu pilar demokrasi dan akan semakin menggerogoti kepercayaan publik terhadap proses politik. Kita harus terus memperjuangkan demokrasi partisipatif yang memberdayakan rakyat untuk terlibat aktif dalam menentukan masa depan mereka.

Meskipun pemilihan kepala daerah secara langsung berpotensi memperkuat partisipasi publik dan memajukan demokrasi lokal, realitasnya seringkali jauh dari ideal. Biaya politik yang tinggi, risiko konflik, dan potensi maraknya politik uang justru menggerogoti kualitas demokrasi dan membuat masyarakat semakin apatis. Daripada meniadakan pemilihan langsung, solusi yang lebih realistis adalah melakukan reformasi sistemik dan menyeluruh, mulai dari transparansi proses pencalonan, pengawasan ketat terhadap kampanye, hingga penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran. Hanya dengan langkah konkret dan berani kita dapat menyelamatkan demokrasi lokal dari ancaman korupsi dan ketidakadilan.

Reference

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun