Mohon tunggu...
Taraf Kurniadi
Taraf Kurniadi Mohon Tunggu... lainnya -

pada tapak kaki yang merangkak berjalan, pada mimpi indah yang menjauh di angan, pada rasa yang makin membeku, dan pada ketegaran jiwa yang makin mengerucut.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Kupu-kupu Malam itu Menangis

22 Desember 2011   05:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:55 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dengan balutan ketat celana jeansnya, wanita itu terlihat tak ada bedanya dengan wanita kebanyakan sekarang. SMS yang dikirimkannya kepadaku membuatku, mendatangi wanita itu. "Kak, bisa ke sini kak?" Ada apa batinku ketika aku menerima smsnya. Tidak seperti biasanya Dian -wanita itu- berani mengirim SMS seperti ini. Dia sangat paham jadwal dimana dia bisa menggangguku. Dan, di malam yang selarut ini di depan sebuah cafe di bilangan Tebet, Dian menantiku dengan sisa linangan air matanya. Cafe sudah sepi.

"Kak, aku dipecat" lemah suaranya ketika aku menghampirinya
Ada perasaan dungu kalau aku bertanya kenapa. Dua minggu nggak mengunjungi cafe itu membuatku tidak bisa cepat meraba apa yang sebenarnya sedang terjadi di cafe itu. Aku hanya terdiam, menikmati rokokku. Sambil merasakan nikotin yang masuk ke paru-paruku. Dan, kemudian kuhembuskan asap rokok pelan-pelan.
"Jadi gimana?" pilihan pertanyaan yang bodoh juga, tapi reflek saja kutanyakan begitu.
"Gak, tahu..........." kata Dian pelan. Sebenarnya jawaban yang tentunya sudah aku pahami. Justru karena jawaban itu dia menganggapku bisa mencari jawaban selain nggak tahu.

Dian adalah penyanyi di sebuah cafe tempat aku sering menghabiskan waktuku. Bukan karena hobi sama musiknya. Aku hanya sekedar begadang dan mencari tempat keramaian di malam hari dan kebetulan juga dekat dengan kantorku. Dan yang utama adalah tempatnya untuk ukuran kantongku pas lah. Jadi nggak terlalu menguras kantongku. Itu saja.
"Kenapa?" tanyaku hati-hati. Kupandangi wajahnya itu lekat-lekat.
"Nggak tau? Bobby tadi manggil aku. Setelah ngomong visi cafe ke depannya, akhirnya dia ngomong ujung-ujungnya, kamu dah nggak cocok lagi kerja di sini....."terang Dian. Bobby itu manajer di cafe itu "Itu dipecat khan maksudnya?" tanya Dian masih setengah nggak percaya dengan apa yang menimpanya. Shock dengan pemecatan yang tiba-tiba membuatnya limbung.

Dian janda yang tidak jelas statusnya. Dibilang cerai belum, dibilang masih bersuami, suaminya tidak jelas ada dimana. Memang seperti kisah klasik para wanita malam. Namun demikian kenyataannya. Dian tak ubahnya sama dengan wanita malam lainnya. Berusaha menghidupi diri dan anak semata wayangnya dengan jalan yang dia bisa. Dian wanita tegar dan berani. Jauh-jauh dari kampung dengan bermodalkan ijazah SMA, dan wajah yang lumayan, hanya cafe ini lah yang bisa menampung dia untuk mencari duit bagi hidupnya. Sekian tahun sudah dia bekerja disitu akhirnya dipecat juga. Dan dia tidak tahu sekarang harus nyari kerja dimana lagi.

"Trus gimana dengan aku, Kak? Gimana dengan Gilang? Sekolahnya., hidupnya dan masa depannya. Dia pas butuh-butuhnya perlu duit. Sedangkan aku sekarang dipecat nggak dapat duit lagi...Gimana dong Kak?" tanyanya lemah.

Aku terang aja nggak bisa memberikan jawaban yang langsung bisa membuat Dian adem. Aku juga bingung sekarang. Memberi kerja Dian? Itu mungkin alternatif yang baik tetapi siapa yang mau? Aku? Gila aja. Aku aja kerjanya ngikut ekportir yang nggak jelas omzetnya. Yang penting aku dibayar. Tapi kalau mencarikan pekerjaan Dian? Yang enggak-enggak aja. Aku juga cuma karyawan biasa. Enggak....Gila aja...Relasiku nggak banyak. Hanya temen-temen kerja saja. Ku garuk rambut kepalaku yang tidak gatal-gatal amat. Rasanya keresahan Dian merambat menjadi keresahanku juga. Ku tatap wajahnya lekat-lekat. Aku tebak mungkin alasan pemecatan Dian lebih dikarenakan Dian yang sudah tidak muda lagi bagi cafe itu. Orang mahfum kalau penyanyi juga berpengaruh besar atas daya tarik cafe. Penyanyi yang masih segar, muda, ranum dan sensual dengan suara yang kadang dipas-pasin bisa menjadi daya tarik orang. Menjadi nilai lebih sebuah cafe dibanding cafe lainnya.

Namun apa karena itu Dian dipecat? Pertanyaan yang sepantasnya lebih dijawab oleh Bobby. Bagi Bobby yang manajer itu, pasti lebih berpikir pragmatis aja. Bagaimana cafenya aja dan eksis. Tetapi bagi Dian, seribu alasan tentang pemecatan itu adalah yang pasti dirinya sudah kehilangan sumber pendapatannya. Dia nggak bisa lagi membiayai Gilang anaknya. Dian nggak tahu ke depannya gimana. Pesangon yang dari Bobby pasti hanya bertahan untuk beberapa bulan ke depan aja. Selanjutnya apa, Dian belum tahu. Yang Dian tahu ada Gilang yang harus dia hidupi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun