Mohon tunggu...
Muhammad Rizky Deansyah
Muhammad Rizky Deansyah Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar/Siswa/Peminat Sejarah/Umum

Seorang Pelajar di dunia Tuhan. "ᬇᬤᬲᬂᬳ᭄ᬬᬂᬯᬶᬤᬶᬯᬲᬗᬫᬗ᭄ᬕᬾᬳᬗ᭄ᬢᬸᬃᬗᬫᬾᬃᬢᬦᬶᬦ᭄ᬇᬤᬲᬂᬧ᭄ᬭᬩᬸ᭟"

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Suara Tidak Keluar dari Mereka yang Dilepas Mulutnya

24 Agustus 2024   09:15 Diperbarui: 24 Agustus 2024   10:20 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indeks Kualtisa Hidup yang rendah di Jakarta. eposdigi.com.

Kamis, 22 Agustus 2024 lalu Jakarta geger. Kerumunan massa Akademisi dan Rakyat Penyuara menyuarakan kritik dan hinaan terhadap pemerintahan yang berdaulat. Massa dengan sigap mengerubungi berbagai sisi institusi penggerak negara di mantan ibu kota itu. Protes mereka sampaikan dengan ungkapan dan bualan yang bermacam-macam. Riuh ricuh pecah di jalanan, dengan membawa batu dan kayu, keberanian jadi tamengnya. Mereka tahu pasti bahwa suara mereka pasti didengar dengan saksama sebagai bahan pertimbangan selama proses penggubahan dengan tetap menyesuaikan kepentingan pemerintah. Di saat itulah massa meluapkan keberangan atas dosa-dosa pemerintah yang telah lama mereka tahan.

Penulis sadari akan seberapa gentingnya situasi saat ini. Sungguh besar sekali hal yang kita pertaruhkan kali ini. Hal-hal yang mengancam konstitusi mesti dilawan hingga titik penghabisan. Bangsa dan negara ini memerlukan perlawanan dari segala intrik busuk yang mengancam, tapi proses perlawan itu tetaplah berjalan secara beradab dan ikut menuju tercapainya tujuan perlawanan. Akan kontradiktif jika perlawanan menjadi teater unjuk gigi keberingasan. Mau seberapa banyak fasilitas umum dirusak? Mau seberapa banyak jalan dibuat macet? dan, Berapa banyak alur roda kehidupan sosial terhambat oleh gangguan eksternal? Suara yang kami dengar adalah suara yang mengajak kepada kebenaran dan keadilan, namun prosesnya melalui jalan konflik dan kehancuran. Keberangan terpendam mereka kini meluap, tumpah ruah di jalanan Jakarta. Amarah yang terpendam di hati masing-masing insan yang mengobservasi bangsanya dalam kurun waktu lamanya. Demikian, penulis enggan menyalahkan massa yang sedang marah mengingat mereka yang marah sama kehilangan akal sehatnya. Tapi tetap itu salah. Dari satu kekerasan kepada kekerasan yang lain dengan hasil yang tidak lain merusak. Siklus setan ini memerangkap mereka, sedangkan tujuan mereka--pada mulut masing-masing--adalah kebenaran dan keadilan.

Penulis yakin dan percaya bahwa tujuan massa tidaklah salah. Maklum, rasanya akan membuat berang bila membaca lebih lanjut tentang nawadosa. Itupun kalau ia nya adalah benar. Lalu ditambah dengan dosa-dosa selanjutnya, maka massa amat patut untuk dimaklumi, namun hanya dari sisi tujuannya saja. Pelaksanaan mereka dalam menggapai tujuan hampir-hampir menambatkan leher bangsa ke tiang gantungan, andai mereka tidak berhati-hati. Kita dahulu memiliki cita utopis yang sembilan. Sekarang dengan tumbukan nawa yang lain, itu melandasi massa untuk berjuang. Untunglah para pengaman negara bertindak sigap. Dengan menomorsatukan keamanan dan kelancaran masyarakat agar sirkulasi uang di sana tetap berjalan tanpa hambatan. Bapak dan Ibu yang perkasa sekalian mengamankan mantan ibu kota dari tindak kisruh yang membahayakan.

Dari kerumunan massa yang berkobar di Jakarta hari itu, mereka tetaplah sekelompok massa. Apakah ribuan orang dapat disamakan atau mengatasnamakan bangsa Indonesia yang 280 juta banyaknya. Bisa jadi mereka hanyalah sekelompok massa pengkritik yang mengkritik pemerintah atau suatu personal pribadi. Maka kita tidak bisa langsung mengiyakan kritikan mereka adalah kritikan seluruh bangsa Indonesia.

Pendudukan Gedung DPR-RI pada 1998. Bisnis.com.
Pendudukan Gedung DPR-RI pada 1998. Bisnis.com.

Penulis sempat mendengar suatu ide yang cukup bodoh. Ya, Mengulang kembali seperti kejadian '98 adalah bodoh. Mau berapa banyak lagi toko Cina yang dihujani batu kali ini? Mau berapa lagi anak bangsa mesti dibredel mati? dan, Apakah ketidakstabilan akan memuaskan hasrat nafsu sekalian rakyat dengan merenggut sekuritas hidup mereka tanpa adanya jaminan atau imbalan yang layak? Kecuali iming-iming kebebasan yang sudah pernah dipakai sebelumnya. Maka yang lebih tepat itu adalah pengulangan kembali penegakkan konstitusi di negeri ini. Itu lebih tepat. Sebuah konstitusi yang salah satu tiangnya adalah "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan". Seperti ditulis sebelumnya, ini merupakan bagian dari siklus kekerasan yang tiada habisnya.

Massa, yang berada di jalan-jalan Jakarta adalah segerombolan manusia. Gerombolan manusia yang menyuarakan hak dan keadilan, begitu kata mereka. Massa berkata "Demikianlah suara rakyat, maka dengannya rakyat berkehendak". Rakyat yang mana? Rakyat yang terlihat di sana kala itu kebanyakannya adalah berpendidikan. Mereka memiliki potensi dengan segala kelebihan akademik dan relasi mereka. Memang, persaingan kerja saat ini semakin tidak sehat, namun potensi mereka lebih besar dari 93,5% saudara sebangsa dan setanah air mereka. Ketika hal-hal yang disuarakan adalah suatu dari dalam politik dan pemerintahan yang bersifat fundamental, sedangkan hal tersebut hampir tidak ada terlintas sedikitpun di pikiran saudara mereka ketika bermatapencaharian. Penuh pengharapan di hati mereka terhadap perjuangan ini, namun tidak dipungkiri merek memiliki perjuangan yang lain. Perjuangan yang lebih penting, yang dengan itu hidup mereka dipertaruhkan. 

Ramai rakyat yang tidak ikut berjuang hari itu. Demi memperjuangkan perut mereka. Perut yang kadang terisi namun seringnya menangis itu. Karena untuk menghindarkan dari perut itu menangis, mereka harus bekerja. Bekerja, bekerja, dan terus bekerja tanpa ada waktu untuk terbersit di benak mereka untuk meninggalkan pekerjaan mereka lalu turun ke jalan untuk menarik ulur pita suara mereka. Jika satu waktu saja mereka berhenti atau bahkan terhenti, itu dapat mengancam keberlangsungan perut-perut di pundak mereka. 

Dengan kualitas hidup yang tidak bisa disebut meningkat, juga tidak bisa disebut menurun. Bagaimana mau disebut sebagai salah satunya? Jika meningkat adalah mimpi, dan menurun berarti pernah berada pada titik yang lebih tinggi sedangkan kualitas hidup mereka tetap pada taraf rendah. Jadi, kata "merayap" lebih pas untuk menjelaskan hidup mereka. Merayap serata tanah dengan wajah menghadap ke atas penuh pengharapan. Berharap suatu hari dapat melompat tinggi jauh ke awan. Semoga. 

Indeks Kualtisa Hidup yang rendah di Jakarta. eposdigi.com.
Indeks Kualtisa Hidup yang rendah di Jakarta. eposdigi.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun