Aku melihatnya pertama kali pada suatu sore, beberapa hari setelah tahun baru. Apa yang membuatku terpana? Apakah karena aku ingin pulang ke rumah orangtuaku, tempat aku berlindung dari keputusanasaan, sementara dirinya sedang membaca buku dengan tenang di halte bus itu? Â Apa karena dia mengingatkanku pada diriku yang dulu, di dunia yang sudah tiada?
Aku menatapnya seolah dia obat. Seolah aku sedang menyaksikan aktualisasi dari suatu kemustahilan matematis. Seolah terbangun dari sebuah mimpi indah dan baru menyadari aku hidup di dalamnya.
Mungkin jarak kami 10, 15, atau 20 meter. Mungkin satu tahun cahaya. Atau hanya satu jengkal. Ketika bola matanya berputar memergoki si pencuri pandang, aku merasakan perasaan yang mungkin sama dirasakan para pencuri kepergok lampu sorot. Kebahagiaan dan adrenalin menekan jantung dan perutku. Kaget! Kepalaku secara autopilot menunduk dan spontan kakiku melangkah (sedikit berlari) menghindari tatapanya.
Mungkin aku baru melarikan diri 10, 15, atau 20 detik. Mungkin seabad. Atau hanya satu milidetik, ketika sekuntum bunga terlihat dalam pandangan. Tepat di depan kakiku, sekuntum saxifraga mencul dari retakan trotoar.
"Apa iya bunga bisa membelah beton? Atau cinta seorang perempuan?" Aku memetiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H