Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Perjanjian Nuklir Iran 2.0 Mendekati Kesepakatan, 3 Ketidaksepakatan Ini Harus Diselesaikan

30 Agustus 2022   05:57 Diperbarui: 30 Agustus 2022   17:15 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin benar kalau diplomasi itu lambat terkadang membosankan. Tapi jauh lebih baik daripada alternative lain. Seperti yang pernah dikatakan mantan Perdana Menteri Britania Raya Winston Churchill "To jaw-jaw is always better than to war-war" artinya lebih baik saling oceh daripada berperang. Asia Barat sedang mencoba melakukannya.

Pertama Iran dan Amerika Serikat. Pada tahun 2015, Iran menandatangani perjanjian nuklir dengan superpower. Persyaratannya cukup sederhana, Iran akan menghentikan program senjata nuklir sebagai imbalannya barat akan mencabut semua sanksi. Sesederhana itu. Dan Iran akan bebas berdagang di pasar global.

Tapi tiga tahun kemudian kesepakatan ini runtuh atas izin Amerika Serikat. Kemudian presiden Donald Trump yang merupakan kritikus vokal dari perjanjian 2015 merasa perjanjian tersebut tidak cukup tegas bagi Iran. Jadi apa dilakukan Trump? Beliau secara sepihak menarik AS keluar dari perjanjian tersebut. Tidak ada diskusi. Tidak ada konsultasi. Seperti biasa AS melakukan apa saja yang ingin dilakukannya.

Trump menerapkan kembali sanksi terhadap Iran. Dia menyebutnya "maximum pressure campaign". Apa itu? maximum pressure campaign mengacu pada sanksi intensif terhadap Iran oleh pemerintahan Trump setelah AS keluar dari Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA) pada tahun 2018.

Apakah "pressure" AS berhasil? Sebaliknya. Iran yang tertekan mengakselerasi program nuklir. Hari ini Iran telah memperbanyak uranium hingga 60 persen. Jika mencapai 90 persen akan menjadi uranium tingkat senjata. Artinya Iran bisa bikin bom atom hanya dalam beberapa bulan.

Kemudian Joe Biden terpilih. AS menghidupkan kembali perjanjian nuklir dengan Iran. Malahan diplomasi lembut menjadi tujuan kebijakan luar negeri pemerintahan Biden. Tapi, terus terang Biden memang tak punya banyak opsi selain menghidupkan kembali perjanjian nuklir dengan Iran.

Biden gagal menghentikan Taliban di Afghanistan dan juga gagal menghentikan perang Rusia vs Ukraina. Jadi dengan Iran, kegagalan diplomasi bukanlah pilihan baginya. Tahun lalu Biden memulai diskusi tidak langsung dengan Iran di Vienna. Bisa dibilang, pengaturan diskusi tersebut sangat rumit. Kedua negara, AS  dan Iran tidak berdiskusi langsung. Mereka berdiskusi melalui Uni Eropa.

Enam belas bulan kemudian kesepakatan antar kedua negara menjadi lebih dekat dari sebelumnya. Sekarang semua pihak bertukar draft. Uni Eropa mengirim versi mereka ke Iran dan AS, dan Iran juga menyarankan beberapa perubahan. Lalu AS membuat beberapa pengamatan. Sekarang keputusan akhir terletak pada Iran. Pejabat Iran sedang mempelajari tanggapan AS terhadap rancangan mereka. Banyak bolak-baliklah pokoknya.

Jika Iran setuju, AS bisa mengesahkan kesepakatan tersebut dalam beberapa hari. Bagaimana dengan dokumennya? Terdapat dua poin kunci dari kesepakatan tersebut. Pertama adalah keringanan sanksi. 17 bank Iran dan 150 lembaga keuangan akan dibebaskan dari sanksi. Miliaran dolar aset beku Iran akan bisa digunakan kembali. Iran juga akan bisa menjual minyaknya.

Poin kedua adalah program nuklir. Iran akan membalikkan proses pengayaan ke tingkat yang dapat diterima. Bagaimana tingkat yang dapat diterima? Mengacu pada kesepakatan lama, yang dapat diterima adalah 3,7 persen. Idenya adalah untuk mengurangi waktu breakout. Artinya, waktu yang dibutuhkan untuk membuat hulu ledak Iran. Draft perjanjian baru memberi waktu breakout sampai enam bulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun