Perang Rusia vs Ukraina merupakan ujian hubungan beberapa kemitraan lama dan beberapa aliansi baru. Semuanya akan diuji dengan ketat dan setiap negara akan bereaksi berdasarkan satu hal: KEPENTINGAN NASIONAL. Jerman mempersenjatai diri, sekutu AS seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Israel berhati-hati.Â
China belum siap untuk pelukan beruang Rusia, dan India tidak mau memihak. Indonesia sendiri masih terlihat malu-malu. Pilihan tindakan negara-negara ini tidak didasarkan pada idealisme namun didasarkan pada realisme.
Saya mulai dengan India, New Delhi telah abstain tiga kali di dewan keamanan PBB terkait persetujuan untuk tindakan yang harus dilakukan terhadap invasi Rusia ke Ukraina. Jauh  dari itu, India menekankan pentingnya kedaulatan dan integritas teritorial dan juga menyerukan dialog menuju perdamaian. Jadi, keputusan untuk abstain bukanlah lampu hijau untuk perang namun mencerminkan perhitungan India terhadap kepentingan nasionalnya.
India membutuhkan AS untuk perang melawan China pada saat yang sama India membutuhkan pengaruh dan opsi. Dan Rusia adalah mitra strategis India sejak lama, ditambah hubungan India dengan Rusia membawa pengaruh tidak langsung atas China. Sederhananya, Ukraina bukanlah masalah yang harus dihadapi India, tetapi China adalah masalah yang harus dihadapi India dan untuk itu India butuh bantuan Amerika dan Rusia.
Di sini segala sesuatu menjadi rumit, karena China merupakan harapan terbaik Rusia untuk mengalahkan dominasi barat. Jika ingin menumpulkan sanksi barat, Putin membutuhkan China. Namun Beijing sangat berhati-hati, pernyataan mereka sebagian besar telah mendorong Rusia untuk melakngkahkan kaki ke Ukraina, tetapi tindakan mereka  menunjukkan keengganan; di dewan keamanan PBB, China abstain, mereka bisa memihak Rusia tapi malah memilih untuk tidak. Ditambah media pemerintah China berbicara tentang netralitas. Apa yang menjelaskan ambivalensi China ini? Sekali lagi, kepentingan nasional sendiri.
Jika membantu Rusia, China bisa terjebak dalam baku tembak yang meluluhlantahkan rencana ekonomi Belt and Road-nya, perusahaan-perusahaan asal tirai bambu bakal menghadapi sanksi Amerika dan sekutu. Pertanyaannya adalah apakah Xi Jinping ingin mengambil risiko?Â
Perlu dicatat bahwa perdagangan China dengan Rusia adalah USD 147 miliar, dan perdagangan China dengan barat adalah USD 1,6 triliun. Jika tiba saatnya untuk memilih salah satu, tidak diragukan lagu ke mana China akan menambatkan hati. Ditambah ada batasan untuk apa yang bisa dilakukan China. Rusia perlu menjual minyak segera tetapi untuk itu Putin membutuhkan infrastruktur seperti jalur pipa baru, dan semua ini membutuhkan waktu, sehingga bantuan China akan bergantung pada kepentingannya sendiri.
Beijing akan kehilangan akses ke pasar barat jika membantu Rusia. Akankah perusahaan mereka menghadapi sanksi sekunder barat? Politik saja tidak serta merta membuat Rusia dengan mudah mendapat bantuan China.
Dan kenyataan ini berlaku untuk semua negara. Bahkan dua sekutu besar Amerika  di Asia Barat, UEA dan Israel ragu-ragu. UEA sejauh ini abstain di dewan keamanan PBB dan Israel telah menolak untuk mensponsori resolusi bersama melawan Rusia. Kedua negara adalah sekutu utama AS yang bergantung pada dukungan militer dari Amerika.
Jadi kenapa keduanya hanya duduk di pagar tanpa kejelasan mau berpihak ke mana? Lagi, kepentingan pribadi. Pertama, UEA dan Rusia adalah bagian dari kartel OPEC plus. Mereka berkoordinasi dalam mengatur pasokan minyak sehingga negara-negara teluk membutuhkan hubungan kerja sama dengan Putin. Kedua, pengaruh rusia dalam konflik Asia Barat adalah faktor yang sangat penting. Putin mengontrol wilayah udara di Suriah. Putin memegang pengaruh yang cukup besar di Iran juga. Rusia dan UEA mendukung pihak yang sama di Libya, makanya kemarahan Putin adalah mimpi buruk UEA.