Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Lukisan-lukisan dari Pantai Tembok Berlin

29 Juli 2021   11:14 Diperbarui: 29 Juli 2021   15:17 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senja di Pantai Tembok Berlin (Sabandar F. /dokpri) 

Terkadang aku merindukan masa sekolahku saat pantai tembok berlin tanpa reklamasi masih bisa kami nikmati.

Ada hari di mana aku bermain sepakbola bersama teman-teman sewaktu air surut atau "air meti" begitu kami menyebutnya. Terdapat area laut di pantai tembok berlin yang ketika ditinggalkan air akan membentuk daratan yang kira-kira berukuran setengah lapangan sepakbola. 

Jadi, selain lapangan "Hockey"  Kota Sorong beralas rumput, kami punya tambahan 'lapangan bola pinggir pantai' beralas pasir pantai yang lebih minim resiko cidera, dan letaknya lebih benar-benar di tepi pantai.

Di hari lain, duduk di bawah langit jingga senja tembok berlin, menatap lurus ke arah Pulau Buaya yang seakan hidup dan hendak menyantap kue matahari yang dilumur-meriahkan oleh jus orens hingga tertumpah ruah ke permukaan laut lalu menyatu dengan pendaran senja lainnya, dan menghasilkan sebuah lukisan telaten tangan Pencipta.

Beberapa jam sebelumnya, aku dan sepupuku Jemi biasa menghabiskan waktu di pantai menggali cacing pantai buat umpan mancing. Selanjutnya kami akan duduk di atas tembok Berlin menggenggam nilon, menghadap pemandangan buaya ngiler mengejar kue mataharinya. 

Air laut begitu jernih. Kami bisa melihat ke kedalaman air hingga terlihat umpan dan ikan pasir yang hendak kami pancing. Melihat proses cacing menggoda ikan untuk dijerat mata kail sungguh menyenangkan, tapi yang lebih menyenangkan adalah sensasi getaran nilon kala ikan mencabik umpan sekaligus menjadi tanda bahwa nilon harus segera di-tarik atau di-"cigi" begitulah kami menyebutnya.

Di hari lain lagi, kami mencari mainan yang terbawa arus dan kandas di pasir pantai. Mainan kandas favorit kami adalah maniken tentara kecil yang terbuat dari plastik; dan mobil-mobilan yang terbuat dari campuran plastik dan logam yang biasa disebut Hot Wheels itu.
Bagi kami, maniken tentara kecil dan Hot Wheels merupakan Gadis dengan anting-anting, Monalisa, The Starry Night atau lainnya, dan kami adalah kolektor seni yang juga merangkap kurator, serta seringkali bertugas sebagai kepala peragaan lukisan-lukisan tersebut.

Lukisan-lukisan itu kini telah kosong dari rak mainanku. Aku tidak dapat mengingat ke mana hilangnya mereka, entah tercecer lalu tersapu ijuk mama atau hilang oleh proses pendewasaan saat itu, entahlah. Yang aku tahu lukisan-lukisan itu kini tidak dapat kami kumpul lagi. Karena sudah tak ada pantai yang seolah roboh bersama temboknya itu. 

Harapanku, semoga Reklamasi pantai tembok berlin yang mengatasnamakan pembangunan itu bisa berjalan sesuai tujuannya dan menjadi harapan baru bagi pembangunan Kota Sorong. Amin. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun