Nama penulis adalah yang pertama pergi diikuti dengan patuh oleh judul, plot, kesimpulan yang memilukan, lalu keseluruhan novel tiba-tiba menjadi salah satu yang belum pernah dibaca, bahkan tidak pernah didengar, seolah-olah, satu per satu, kenangan yang dulu disimpan memutuskan untuk pensiun ke belahan otak timur, ke desa nelayan kecil di mana tidak ada telepon apalagi internet.
Dahulu kala, aku mencium selamat tinggal nama sembilan Musai dan menyaksikan persamaan kuadrat mengemas tasnya, dan bahkan sekarang saat menghafal urutan planet, sesuatu yang lain menjauh, lagu nasional mungkin, alamat seorang paman, ibu kota Singapura. Apa pun yang  diperjuangkan untuk diingat, selalu tidak siap di ujung lidah, bahkan tidak kelihatan di ujung lambung untuk dimuntahkan.
Memori mengapung di sungai mitologi yang gelap yang namanya dimulai dengan huruf L sejauh yang diingat, di mana aku akan bergabung dengan mereka yang bahkan lupa cara berenang lalu tenggelam.
Pantas saja aku bangun di tengah malam untuk mencari tanggal pertempuran terkenal dalam buku tentang perang.
Pantas saja bulan di jendela seakan melayang keluar dari puisi cinta yang biasa dihafal.
Lupa...pokoknya di Let..., (sekitar) 27 Januari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H