Pada tahun 2011, Organisasi Pangan dan Pertanian FAO mempresentasikan perkiraan bahwa sekitar 1/3 dari makanan dunia terbuang setiap tahun. Sejak itu, banyak yang berubah dalam persepsi global tentang masalah tersebut.Â
Kehilangan dan pemborosan pangan memang menjadi isu yang menjadi perhatian publik yang besar. Dalam beberapa tahun terakhir, limbah makanan telah menjadi fenomena kompleks yang menarik perhatian ilmuwan, konsumen, dan aktivis.
Hal ini telah menjadi paradoks global, peningkatan hasil pertanian untuk meningkatkan ketahanan pangan namun kemudian sepertiga dari semua makanan yang diproduksi berakhir jadi limbah.Â
Menurut laporan FAO (Organisasi makanan dan pertanian di bawah naungan PBB) pada tahun 2013 menunjukkan bahwa limbah makanan secara global berjumlah sepertiga dari total makanan yang diproduksi untuk konsumsi manusia, sekitar 1,6 miliar ton per tahun.
Alasan mengapa hal ini menjadi perhatian besar adalah biaya ekonomi, sosial, dan lingkungan yang terkait dengannya. FAO mendefinisikan limbah makanan sebagai limbah (food waste) atau kehilangan makanan (food losses) yang terjadi selama industri pengolahan, distribusi, dan konsumsi.Â
Oleh karena itu, memahami dan mengakhiri limbah makanan telah menjadi prioritas di antara organisasi nirlaba dan pemerintah yang mengarahkan kita pada topik tentang penyebab, efek, dan solusi limbah makanan. Indonesia sendiri merupakan penyumbang sampah makanan terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi.
Mengurangi limbah makanan merupakan cara yang lezat untuk menghemat uang, membantu ketahanan pangan dan melindungi planet ini.
Berbagai Penyebab Pemborosan Makanan
1. Membeli dan menyiapkan makanan terlalu banyak
Seringkali, makanan terbuang percuma karena membeli atau menyiapkan terlalu banyak. Jika kita membeli atau menyiapkan makanan terlalu banyak dari yang dibutuhkan, maka jelas makanan berlebih di piring akan terbuang percuma. Dalam skenario seperti itu, sisa makanan dan sebagian makanan bekas menjadi penyebab makanan terbuang percuma.
Hal lain, makanan yang sebagian sudah kita makan kadang-kadang diletakkan di bagian belakang lemari es dan tidak pernah dihabiskan.Â
Hal yang sama berlaku untuk pembelian berlebih yang akhirnya melewati tanggal kedaluwarsa dan karena itu penampilan, rasa, dan baunya tidak enak. Pada akhirnya, semua kelebihan berakhir sebagai sampah makanan.
2. Kesalahan dalam proses industri dan kepatuhan terhadap kebijakan keamanan makanan
Faktor pendorong terbesar lainnya untuk pemborosan makanan adalah protokol keamanan makanan. Protokol keamanan makanan tidak memberikan ruang untuk kesalahan dalam pemrosesan industri atau kompromi lain yang mengurangi kualitas produk akhir makanan.Â
Akhirnya, kesalahan selama pemrosesan industri menyebabkan makanan akan terbuang percuma karena tidak memenuhi standar yang ditetapkan.
Perusahaan pengolahan makanan dituntut mematuhi peraturan keamanan pangan yang tinggi dan karenanya tidak boleh ada kesalahan margin. Dalam mematuhi kebijakan keamanan pangan, perusahaan di sektor tersebut akhirnya menciptakan limbah karena salah sedikit berarti produk makanan ditolak meskipun hanya karena ketidaksempurnaan tampilan atau bentuk.
Makanan yang overcooking, uji coba produksi dengan resep baru, cacat kemasan, uji coba kadaluarsa makanan dalam kemasan, dan ukuran serta berat yang salah merupakan beberapa aspek yang menyebabkan ketidaksempurnaan dan akhirnya penolakan makanan yang berujung menjadi limbah.
3. Kendala manajerial, keuangan dan teknis
Masalah ini menjadi tantangan utama yang berkontribusi pada food waste di negara berkembang. Food waste terjadi karena kendala yang berkaitan dengan manajemen yang kurang tepat, keuangan yang tidak memadai, dan kesulitan teknis dalam hal metode panen, penyimpanan, dan masalah pendinginan dalam kondisi cuaca buruk, pemrosesan, pengemasan, infrastruktur, dan sistem pemasaran.
4. Penyiapan makanan yang berlebihan di restoran, hotel, dan industri jasa makanan
Sebagian besar restoran, hotel, dan industri jasa makanan sama-sama memiliki kecenderungan untuk menyiapkan/memproduksi makanan secara berlebihan.Â
Niatnya sebenarnya baik terutama untuk mengantisipasi volume pelanggan yang tinggi dan kemampuan untuk tidak kehabisan menu, persiapan yang berlebihan sering kali menyebabkan pemborosan jika semua makanan tidak terjual.Â
FAO menunjukkan bahwa kelebihan produksi dalam industri jasa makanan adalah penyebab utama pemborosan makanan.
Karena manajemen layanan makanan tidak memiliki kemampuan untuk menghitung jumlah makanan yang dikonsumsi rata-rata, dapur terus memproduksi jumlah yang dianggap cukup tetapi sebagian besar sebenarnya tidak diperlukan.
Selain itu, beberapa manajer percaya bahwa memproduksi makanan dalam jumlah besar akan meminimalkan biaya, tetapi pada kenyataannya, hal itu menghasilkan lebih banyak limbah dibandingkan dengan persiapan masak sesuai pesanan atau memasak dalam jumlah kecil.
5. Over-merchandising dan over-ordering di toko makanan dan supermarket
Dalam arti luas, merchandising adalah praktik apa pun yang berkontribusi pada penjualan produk ke konsumen ritel. Pada tingkat ritel di dalam toko, merchandising mengacu pada menampilkan produk yang akan dijual dengan cara kreatif yang memikat pelanggan untuk membeli lebih banyak item atau produk.Â
Barang dan produk makanan yang dijual secara over-merchandising di pusat ritel, pasar grosir, dan supermarket sering kali mengakibatkan food waste.Â
Operasi jasa makanan biasanya lebih memfokuskan pada penjualan di toko makanan dan supermarket dengan menggunakan tampilan yang bagus dan menarik sehingga menciptakan gagasan "produk bagus" (meskipun tidak) dalam upaya untuk mempromosikan penjualan dan kepuasan pelanggan. Pelanggan yang "tertipu" akhirnya membuang makanan yang sudah dibeli.
Aspek over-merchandizing merupakan salah satu penyebab terbesar peningkatan limbah makanan. Ketika orang membeli lebih dari yang dibutuhkan, kelebihannya sering kali berakhir di tempat sampah.
Over-ordering yang berlebihan juga menyebabkan kedaluwarsa makanan pada penyimpanan took atau supermarket dengan masa simpan terbatas karena beberapa di antaranya akan tetap tidak terjual.
6. Perilaku konsumen
Pelanggan yang berbeda memiliki preferensi yang berbeda dan hal ini sangat mempengaruhi perilaku pembelian konsumen terhadap item makanan. Khususnya, perilaku konsumen yang cenderungan punya wawasan tajam untuk dalam memilih sayuran dan buah-buahan yang tidak cacat, dan tampilan luar buah dan sayuran yang baik agar bisa lama disimpan di rumah.
Perilaku konsumen seperti itu lebih sering berkontribusi pada pemborosan makanan karena sebagian besar makanan (yang tampilannya kurang bagus) mungkin tetap berada di rak sampai kadaluwarsa.Â
Selain itu, kecenderungan perilaku konsumen seperti itu dapat memaksa operator jasa makanan di restoran dan hotel untuk mempertahankan pilihan menu besar dan layanan kelas atas sambil memastikan konsistensi yang sebagian besar mengarah pada pemborosan makanan.
Pengaruh Limbah Makanan
1. Hilangnya keanekaragaman hayati
Pemborosan makanan berdampak pada hilangnya keanekaragaman hayati. Untuk memaksimalkan hasil pertanian, semakin banyak petani yang menginvasi daerah liar untuk mencari lahan yang lebih subur yang menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati.Â
Alasannya adalah praktek-praktek seperti tebas bakar, penggundulan hutan, dan konversi kawasan liar menjadi lahan pertanian telah menghancurkan habitat alami burung, ikan, mamalia, dan amfibi.
Praktik pertanian seperti penanaman tunggal juga telah memperparah hilangnya keanekaragaman hayati. Pemeliharaan ternak secara massal untuk konsumsi dan penggunaan pestisida dalam produksi tanaman juga telah memberikan kontribusi signifikan terhadap polusi nitrogen, fosfor, dan kimiawi di sungai, dan perairan pesisir sehingga mempengaruhi kehidupan laut.
2. Pemborosan 1/3 dari luas lahan subur dunia
Menurut penelitian FAO, makanan yang diproduksi tetapi tidak dikonsumsi mencakup sekitar 1,4 miliar hektar lahan, yang merupakan hampir 1/3 dari lahan pertanian di planet ini.Â
Kalo mau dilihat, dunia menyia-nyiakan 30 persen dari tanah subur dunia yang dapat digunakan untuk tujuan lain yang berarti seperti misalnya penelitian lingkungan.
3. Pemborosan sumber daya air
Volume air yang digunakan dalam produksi pangan pertanian sangat besar. Oleh karena itu, jika 30 persen dari semua makanan yang diproduksi menjadi limbah, maka lebih dari 30 persen air tawar yang digunakan dalam produksi dan pengolahan makanan juga terbuang percuma.
Perkiraan yang tepat menunjukkan bahwa pemborosan makanan bertanggung jawab atas pemborosan hampir 250 kilometer kubik (km3) air. Pemborosan ini setara dengan tiga kali volume Danau Toba.Â
Ditegaskan juga bahwa membuang satu kilogram daging sapi sama saja dengan menyia-nyiakan 50.000 liter air yang digunakan dalam proses produksi daging. Demikian pula, 1000 liter air akan terbuang percuma jika satu gelas susu dituang ke saluran pembuangan.
4. Peningkatan percepatan perubahan iklim
Makanan yang dihasilkan dan kemudian menjadi sampah diperkirakan setara dengan 3,3 miliar ton emisi gas rumah kaca, yang mempercepat dampak perubahan iklim. Penelitian juga menyatakan bahwa sampah makanan merupakan penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga.
Alasannya adalah energi yang terbuang dan penggunaan bahan bakar fosil dalam produksi makanan termasuk pengolahan dan memasak serta transportasi ke berbagai pasar konsumen di seluruh dunia.Â
Sejumlah besar limbah makanan dapat menyebabkan pemanasan global karena makanan menghasilkan gas metana saat terurai di tempat pembuangan sampah.Â
Gas metana 25 kali lebih berbahaya daripada karbon dioksida sebagai gas rumah kaca. Hal ini semakin memperburuk perubahan iklim dan pemanasan global.
5. Konsekuensi ekonomi
Selain dampak lingkungan, pemborosan pangan juga menimbulkan biaya ekonomi langsung. Menurut perkiraan laporan FAO, kerugian ekonomi yang terkait dengan pemborosan makanan adalah sekitar 750 miliar USD, atau setara 10.605 triliun rupiah pertahun.
Solusi untuk Limbah Makanan
1. Menyeimbangkan produksi pangan dengan permintaan
Yang terpenting, prioritas harus dipusatkan pada menyeimbangkan produksi pangan dengan permintaan untuk mengurangi masalah pemborosan pangan.Â
Hal pertama adalah mengurangi penggunaan sumber daya alam dalam produksi pangan. Di hotel, restoran, dan industri jasa makanan, alat manajemen risiko dapat diterapkan.
Alat seperti itu akan bekerja untuk memastikan manajer dan koki hanya memproduksi dan memasak makanan sesuai dengan permintaan atau pesanan yang dibuat. Memproduksi makanan dalam jumlah besar selalu mengakibatkan pemborosan makanan.
Jadi dalam upaya untuk menghemat makanan, tenaga kerja, dan uang, maka hotel dan seluruh industri jasa makanan sebisanya bekerja pada produksi dalam jumlah kecil atau menggunakan opsi "masak sesuai pesanan".
2. Memperbaiki proses panen, penyimpanan, pemrosesan, dan distribusi makanan
Strategi kedua harus ditempatkan pada pengembangan teknologi yang efisien dan sistem produksi yang proses penyimpanan, pemanenan, pemrosesan, dan distribusi yang lebih baik.Â
Redistribusi dapat menjadi strategi awal untuk memasok atau mendistribusikan lebih banyak makanan ke tempat yang membutuhkan dan mengurangi pasokan di mana makanan berlebih.
Efisiensi pemanenan, penyimpanan, dan pemrosesan juga harus ditingkatkan oleh pemerintah dan LSM dengan menyediakan subsidi dan pelatihan tentang praktik produksi yang lebih baik.
3. Inisiatif pengurangan limbah makanan
Supermarket, gerai makanan ritel, restoran besar, dan konsumen perorangan juga dapat mengerjakan upaya mereka sendiri yang disesuaikan dan kreativitas untuk mengurangi limbah makanan. Misalnya, konsumen individu dapat mengurangi limbah makanan dengan tidak selalu menempatkan preferensi tinggi untuk kualitas makanan terbaik.
Kadang-kadang bahkan makanan yang jelek atau cacat masih dapat dimakan atau dapat dibeli kemudian digunakan untuk membuat hidangan seperti sup. Over-merchandising juga dapat dikurangi untuk meminimalkan pemborosan makanan.
4. Konsumen membeli dan menyiapkan makanan dengan rencana
Penggunaan rencana makan dalam menyiapkan makanan dapat sangat membantu dalam mengakhiri pemborosan makanan. Konsumen sebaiknya hanya membeli makanan sesuai rencana mereka atau dalam jumlah kecil untuk mengurangi makanan yang terbuang percuma karena kedaluarsa setelah penyimpanan yang lama.
5. Daur ulang makanan
Upaya daur ulang makanan sedang berlangsung, tetapi teknologi dan metode yang digunakan harus lebih baik. Bahan makanan kaya pati seperti keripik, roti, biskuit, dan sereal sarapan, misalnya, dapat didaur ulang menjadi pakan ternak berkualitas tinggi.
Daur ulang bahan kulit sayuran dan buah sebagai juga dapat mengurangi limbah makanan. Jika benar-benar tidak layak untuk dikonsumsi, masih dapat dikonversi untuk penggunaan lain alih-alih dibawa ke tempat pembuangan sampah dan mengeluarkan gas metana.
Dari pakan ikan hingga kompos, banyak perusahaan Indonesia yang bermunculan dengan ide dan solusi untuk mengubah sisa makanan menjadi produk baru dan bermanfaat.
Misalnya, perusahaan Magalarva mengolah limbah makanan menjadi pakan ikan berupa larva lalat black soldier. Indonesia dapat membantu perusahaan-perusahaan ini berkembang dengan mengembangkan koalisi berbagai pemangku kepentingan bisnis, akademisi, dan sektor publik untuk bersama-sama menangani masalah limbah makanan melalui berbagai cara.
6. Pendidikan di sekolah dan melalui media sosial
Pentingnya tidak membuang-buang makanan harus diajarkan di sekolah. Di Amerika Utara, banyak sekolah dan organisasi seperti Commission for Environmental Cooperation telah mengembangkan alat untuk meningkatkan kesadaran siswa tentang limbah makanan melalui berbagai aktivitas dan inisiatif.Â
Contohnya termasuk mengajari siswa cara mengukur limbah makanan melalui audit limbah. Belajar mengurangi limbah makanan juga bisa diintegrasikan ke dalam pelajaran matematika atau memasak.
Informasi tentang limbah makanan juga dapat disampaikan melalui media sosial dan aplikasi untuk memperkuat nilai zero waste dan membangun gerakan kolektif di seluruh nusantara.Â
Salah satu contohnya di Indonesia adalah inisiatif GiFood Food Warriors. Selama Ramadhan, GiFood Food Warriors menggunakan aplikasi mereka untuk membantu orang Indonesia berbagi kelebihan makanan dengan orang lain, agar makanan tidak terbuang percuma.
7. Dukung pengecer makanan tradisional
Orang Indonesia umumnya diajarkan untuk tidak menyia-nyiakan makanan. Hampir semua budaya kita dilarang untuk membuang-buang makanan.Â
Ada pepatah tradisional yang populer, "Jangan buang nasi nanti nasinya nangis". Namun, industrialisasi, urbanisasi dan pertumbuhan populasi kelas menengah telah berkontribusi pada perubahan pola konsumsi pangan. Saat membeli makanan, konsumen sering kali terpikat oleh pembelian impulsif, pemasaran dan promosi "beli satu dapat satu gratis".
Pasar tradisional Indonesia dan pedagang sayur keliling dapat menawarkan solusi untuk mengurangi kebiasaan membeli yang berlebihan. Jenis pengecer ini dapat membantu konsumen mengurangi pembelian impulsif dengan memberikan penawaran musiman dan pilihan untuk membeli makanan dalam jumlah kecil. Pasar ini juga berbasis uang tunai sehingga mereka dapat membantu konsumen tetap pada anggaran.
Namun, pembelian bahan makanan di pasar tradisional menurun di tengah persaingan ketat dari supermarket modern. Oleh karena itu, pemerintah di semua tingkatan telah berupaya mendorong revitalisasi pasar tradisional di wilayahnya.Â
Revitalisasi ini bertujuan untuk menyediakan infrastruktur penyimpanan dan sanitasi yang lebih baik untuk meningkatkan pengalaman konsumen. Presiden Joko "Jokowi" Widodo berkomitmen untuk merevitalisasi pasar tradisional.Â
Hingga saat ini, inisiatif tersebut telah berhasil merevitalisasi 5.000 pasar besar dan 8.900 pasar desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H