Mohon tunggu...
Dea NoviMahfiro
Dea NoviMahfiro Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Sejarah, FIB - Universitas Airlangga

--

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Review Buku "Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin", Karya Anthony Reid

7 Oktober 2020   18:51 Diperbarui: 7 Oktober 2020   18:57 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450 -- 1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin, Kata pengantar: Onghokham, Penerjemah: Mochtar Pabotinggi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, Cetakan ke III: 2014, xxxiv+322 hlm, 24 cm.

Judul asli: Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680, ISBN: 978-979-461-107-7 (no. Jil. ungkap), ISBN: 978-979-461-108-1 (jil. 1), Copyright, 1988 by Yale University, Published by Yale University Press, New Haven and London.

Asia Tenggara merupakan kawasan geografis yang sangat terpisah dari kawasan sekitarnya yaitu Asia Timur, Asia Selatan, dan Pasifik. Asia Tenggara menjadi gudang sejarah tempat menyimpan banyak arsip-arsip sejarah. Akan tetapi, sejarah Asia Tenggara belum mendapat banyak perhatian, dan bahkan boleh dibilang yang paling miskin penelitian sejarahnya dibanding dengan kawasan Asia lainnya seperti Asia Timur (Cina dan Jepang) atau Asia Selatan (India dan Pakistan). Kemudian seorang sejarawan dari Selandia Baru yakni Anthony Reid hadir untuk meneliti bagaimana sejarah dari Asia Tenggara, khususnya membahas tentang perniagaan di Asia Tenggara.

Dalam menulis buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450 -- 1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin, Anthony Reid menggunakan metode pendekatan "total history" (sejarah total), sejarah peradaban meliputi semua aspek yang tidak hanya membahas tentang politik. Bahkan dalam karya Reid ini aspek politik agak diabaikan. Anthony Reid sangat menekankan persatuan wilayah Asia Tenggara sebagai suatu unit. Misalnya, Anthony Reid berpendapat bahwa tidak ada suatu kawasan geografis yang sangat berbeda dari kawasan lainnya. Terdapat banyak hubungan dagang antar daerah, meskipun berbeda dalam hal suku, bangsa, dan bahasa.

Buku ini terdiri dari 5 BAB Pembahasan yakni Pendahuluan: Tanah di Bawah Angin, Kesejahteraan Fisik, Kebudayaan Material, Pengaturan Masyarakat, Pesta Keramaian dan Dunia Hiburan. 

Bagian I: Tanah di bawah api, menggambarkan bagaimana kondisi geografis dan sosial masyarakat di Asia Tenggara. Air dan hutan merupakan dua unsur dominan dalam lingkungan hidup Asia Tenggara. Bahkan sebagian besar wilayah Asia Tenggara didominasi oleh perairan. Hal ini terlihat dari kawasan Indonesia yang terdiri dari beberapa kepulauan atau biasa disebut Nusantara. Dalam proses perniagaan, jalur laut Asia Tenggara selalu terbuka bagi pedagang internasional. Unsur lainnya yakni, hutan yang melimpah dikarenakan suhu udara dan curah hujan yang relatif tinggi di kawasan ini. Hasil-hasil dari hutan ini banyak yang dijadikan industrialisasi dan bahan baku bangunan diwilayah perkotaan. Meskipun demikian, masih belum dapat menjinakkan rimbunnya pepohonan di kawasan hutan Asia Tenggara. Akan tetapi, pemanfaatan hutan secara terus menerus dapat menimbulkan kerusakan alam baik bagi manusia, dan mahkluk-mahkluk yang menghuni hutan seperti harimau, orang utan, tetumbuhan, dll.

Secara umum kondisi sosial masyarakat di Asia Tenggara sangat multikultural. Keterbukaan historis Asia Tenggara terhadap perniagaan samudera menjadi salah satu faktor keberagaman bahasa, kebudayaan, dan agama yang ada. Meski demikian, terdapat kesamaan-kesamaan dari kawasan ini yakni penyesuaian dengan suatu lingkungan fisik yang sama dan suatu jalinan tingkat niaga yang tinggi di kawasan tersebut.

Bagian II: Kesejarhteraan Fisik, menggambarkan demografi dan mata pencaharian masyarakat Asia Tenggara. Jawa, Siam, Birma, dan Vietnam semuanya mempunyai tradisi menghitung jumlah rumah tangga dalam kerajaan mereka untuk keperluan perpajakan serta pengerahan tenaga kerja. Secara keseluruhan, Asia Tenggara berpendudukan jarang di tahun 1600, khususnya jika dibandingkan dengan negeri-negeri yang berbatasan, seperti Asia Selatan dan Asia Timur. Di sini pengaruh manusia umumnya terbatas pada pertanian berpindah-pindah di tanah-tanah perbukitan yang terpencil dan pada pengumpulan berbagai hasil hutan untuk diekspor. Beras menjadi sumber makanan pokok bagi sebagian masyarakat di kawasan Asia Tenggara. Dua bahan makanan utama yang penting lainnya dan banyak diperdagangkan ialah garam serta ikan. Jenis-jenis makanan lain yang sering dijumpai di kawasan Asia Tenggara adalah Makan berbahan daging sebagai upacara agama, air dan anggur, sirih dan tembakau, rempah-rempah sebagai obat-obatan, serta yang lainnya.

Asia Tenggara dalam kurun niaganya merupakan suatu wilayah yang jarang penduduknya, dengan jumlah sedikit di atas dua puluh juta jiwa, yang tersebar tidak merata di kawasan yang sebagian besar masih tertutup hutan rimba. Sebagian besar penduduk ini terpencar dalam kantong-kantong persawahan intensif dan di kota-kota pelabuhan niaga yang justru lebih besar proporsi penduduknya dihitung dari jumlah penduduk keseluruhannya (Reid 1980). Penduduk tetap jarang terutama akibat ketidakamanan hidup dalam kondisi yang banyak dilanda perang. Tapi jumlah ini naik dengan cepat, akibat perpindahan penduduk serta kelahiran biasa, kapan saja keamanan kembali terjamin.

Bagian III: Kebudayaan Material, membahas tentang kebudayaan-kebudayaan material dari masyarakat di kawasan Asia Tenggara. Kebudayaan materil pertama yang dibahas adalah rumah. Terlepas dari beragamnya gaya rumah di antara berbagai bangsa dan kelas masyarakat di Asia Tenggara, beberapa ciri umum terlihat menonjol. Atap yang curam sengaja dibuat untuk menahan hujan lebat, dan pengangkatan rumah di atas tiang kayu yang kuat diperlukan pertama sekali sebagai perlindungan terhadap bahaya banjir. Perabotan rumah tangga sama sederhananya dengan bangunan rumah itu sendiri. Masyarakat Asia Tenggara dalam kurun perniagaan tidak mengenal meja, kursi, sendok, dan garpu. Hal ini dikarenakan mereka makan di lantau dengan alas sederhana. Dalam hal penerangan mereka lebih sering menggunakan lampu minyak tanah dibandingkan lilin. Selain kebudayaan materil berupa rumah, perabotan rumah, dan penerangan, masih ada banyak kebudayaan fisik lainnya. (Selengkapnya ada di Buku Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450 -- 1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin).

BAB IV: Pengaturan Masyarakat, lebih banyak membahas tentang aturan-aturan atau hukum dalam masyarakat, khususnya tentang peperangan di Asia Tenggara. Pada dasarnya, peperangan di Asia Tenggara bukan untuk memperluas wilayah atau teritori tertentu. Kerajaan-kerajaan tradisional di Asia Tenggara juga tidak memiliki alat-alat seperti alat yang dimiliki tentara profesional. Ketika mendapat serangan, mereka umumnya mengasingkan diri ke bukit-bukit atau hutan-hutan di belakang kota sampai musuh meninggalkan tempat tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun