Tahun 1967, tidak lama setelah perbaikan hubungan Malaysia-Indonesia, pakar hukum laut kedua negara bertemu untuk membicarakan batas-batas teritorial. Kedua negara saling membuka peta, dan ternyata Indonesia dan Malaysia memasukan Pulau Sipadan dan Ligitan ke dalam peta kedaulatan. Kedua negara menyatakan kedua pulau itu status quo. Indonesia memahami status quo sebagai kedua pihak tidak mengusik wilayah sengketa.
Malaysia sebaliknya. Status quo dipahami sebagai kedua pulau itu masih milik Malaysia sampai ada penyelesaian soal status baru. Indonesia tidak melakukan apa pun di pulau yang terletak di Selat Makassar. Sipadan membentang seluas 50 ribu meter persegi dengan koordinat 4652,86LU 1183743,52BT. Ligitan seluas 18 ribu meter persegi dengan 49LU 11853BT Â Indonesia ingin masalah ini diselesaikan Dewan Tinggi ASEAN, tapi Malaysia lebih suka menggunakan Mahkamah Internasional (MI).Â
Tahun 1988, Sipadan dan Ligitan dibawa ke MI. Pada 17 Desember 2002, MI memutuskan lewat voting di lembaga itu memenangkan Malaysia dengan 16 berbanding satu. Artinya, hanya satu hakim yang memenangkan Indonesia, yaitu hakim pilihan Jakarta. Kemenangan Malaysia berdasarkan pertimbangan efektivitas. Inggris, penjajah Malaysia, melakukan tindakan admistratif dengan penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung.
Alasan lain, berdasarkan chain of title rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu. Blok Ambalat adalah kawasan perairan di Laut Sulasesi, tepatnya di sebelah timur Pulau Kalimatan. Tahun 1969, Malaysia dan Indonesia menanda-tangani Perjanjian Tapal Batas Kontinental Indonesia-Malaysia, dan diratifikasi pada tahun itu pula. Kurang setahun sejak penanda-tanganan perjanjian itu, kedua negara kembali meneken Perjanjian Tapal Batas Laut Indonesia-Malaysia pada 17 Maret 1970.
Namun tahun itu pula Malaysia secara sepihak membuat peta baru tanap batas kontinental, dan memasukan Ambalat ke dalam wilayahnya dengan memajukan kordinat 4 10 arah utara melewati Pulau Sebatik.
Jakarta menolak klaim itu, dan merujuk Perjanjian Tapal Batas Kontinental 1969 dan Persetujuan Tapal Batas Laut Indonesia-Malaysia 1970. Indonesia melihat Malaysia secara terus-menerus memperluas wilayah, dengan sebisa mungkin mencaplok wilayah Indonesia. Ambalat memang wilayah laut, tapi dicurigai menyimpan kandungan minyak dan gas.
Sengketa Blok Ambalat mungkin yang paling panas. Di perairan, kapal-kapal Indonesia dan Malaysia saling halau dan serempet. Di Jakarta, warga turun ke jalan mengecam Malaysia. TNI merespon situasi dengan keras. Tidak ingin lagi kehilangan wilayah ke pangkuan Malaysia, TNI memperingatakan Malaysia tidak memprovokasi konflik terbuka. Namun di setiap perundingan, Malaysia tetap mengatakan Blok Ambalat sebagai miliknya, dan mengirim nota diplomatik berisi protes atas kehadiran TNI.
Cara penyelesaian konflik diatas yang dipilih oleh Malaysia adalah Yudisial Settlement. Cara ini hampir sama dengan Arbitrasi, jika Arbitrasi hakim dipilih oleh masing-masing pihak. Tetapi jika Yudisial Settlement, hakim dipilih oleh pihak ke-3. Dalam konflik ini pihak ketiga adalah Mahkamah Internasional (MI).
Camar Bulan dan Tanjung Datu
Malaysia menghentikan provokasinya di Blok Ambalat, tapi meneruskannya di wilayah lain, yaitu Camar Bulan dan Tanjung Datu. Camar Bulan adalah satu desa. Tanjung Datu adalah daratan yang menjorok ke laut di ujung barat Pulau Kalimatan, yang berbatasan langsung dengan Malaysia.Setelah ditemukan patok yang dihancurkan, yang membuat Malaysia berhak mengklaim Desa Camar Bulan, ketegangan kedua negara tak terhindarkan.
Indonesia merespon keras, yang membuat Malaysia menahan diri. Itu tidak lama. Persoalan mengeluka lagi ketika Malaysia membangun mercusuar di Tanjung Datu. Menhan RI menyatakan Tanjung Datu dan Camar Bulan adalah Outstanding Boundary Problems (OBP), yang masih dalam proses perundingan. Tanjung Datu seluas 4.750 kilometer persegi, dan dihuni 493 kepala keluarga.