Saya masuk psikologi awalnya karena saya tertarik bahwa belajar psikologi bisa membaca orang, macam peramal begitu. Semakin lama saya belajar psikologi saya mulai mengerti bahwa psikologi bukan sekedar itu, psikologi bukan dukun, saya semakin jatuh cinta dengan psikologi. Banyak yang bilang belajar psikologi sama dengan rawat jalan. Dan ini benar, saya mulai merasakannya ketika saya belajar psikologi kepribadian. Pertanyaan demi pertanyaan saya mulai terjawab ketika saya belajar ilmu ini. Kenapa orang begini? kenapa orang begitu?
Selama ini saya mengira diri saya adalah pribadi saya sehat. Saya normal. Saya bisa memenuhi tuntutan lingkungan, saya bisa memenuhi tugas perkembangan, saya sama dengan manusia lainnya yang mencoba mengaktualisasikan diri saya, hanya tidak sekedar eksis, tetapi benar hidup. Banyak teori kepribadian yang saya pelajari. Saya belajar cukup banyak tentang perilaku manusia. Dalam konteks pribadi maupun sosial. Saya terlalu melihat keluar, tidak melihat ke dalam.
Saya baru sadar ada yang salah dengan diri saya. Saya “sakit”. Saya di program oleh media. Salah satu hobi saya adalah menonton televisi, selancar internet, menonton drama, variety show, music video dan mendengarkan musik korea. Saya menyukai segala hal tentang korea. Bahkan makanannya, saya juga menyukainya. Ini berlangsung sejak kelas 3 SMP. Saya tidak masalah bahkan cenderung bangga dengan dengan sebutan kpopers. Selama ini. Tapi semua itu berubah ketika saya kuliah psikologi kognitif per tanggal 31-3-2015. Hingga rasanya saya seperti ditampar, bahwa apa yang selama ini saya yakini normal ternyata tidak. Kuliah kognitif tadi benar-benar membuat saya merasa “sakit”.
Psikologi kognitif mempelajari cara berpikir manusia. Berpikir menggunakan otak. Otak manusia dibagi 3, Reptilian Brain (Unconcious Mind), Sistem Limbik (Subconcious Mind), Neokorteks (Concious Mind). Saya akan menjelaskan sedikit reptilian brain untuk mempertahankan hidup/survive, namun ketika orang suka menggunakan bahasa tangan (agresi fisik) maka orang berpikir menggunakan otak reptil ini. Sistem limbik untuk membentuk perasaan dan membentuk memori. Neokorteks atau thinking brain untuk penalaran, berpikir logika.
Tetapi 85% manusia tidak menggunakan thinking brain. Itu sebabnya banyak orang mudah ikut terpengaruh / meniru hal-hal yang mereka lihat tanpa dipikir. Karena banyak yang berpikir tren memang untuk diikuti, tapi tidak banyak yang berpikir mengapa harus diikuti? apa hubungannya? apa manfaatnya?. Media menggunakan bahasa emosi , makanya kita bisa menerima dengan baik. Apalagi jika menonton film atau tayangan apapun kita sedang pasif makanya mudah untuk dikontrol. Gampang diperdaya berarti tidak berpikir.
Saya selalu merasa bahwa saya bukan termasuk orang yang 85% tadi, saya adalah orang yang menggunakan sistem limbik dan thinking brain dengan seimbang. Karena emosi yang baik berjalan bersama-sama dengan korteks. Saya tidak mudah percaya dengan media apalagi yang berhubungan dengan politik, karena saya penggemar teori konspirasi. Saya selalu berpikir sebelum bertindak, tapi ada satu yang luput, yaitu tentang kesukaan saya tentang kpopers.
Kuliah tadi adalah kuliah diskusi, kami menanyakan apa saja yang yang berhubungan dengan kognitif. Hingga tiba pada bahasan korea. Saya selalu bersemangat dengan kuliah kognitif, karena saya selalu kagum dengan kecerdasan dosen saya, yang selalu memberikan pengetahuan baru untuk saya. Bahasan tentang penggemar korea menyadarkan saya kalo ada saya dengan kognisi saya. Kurang lebih beliau berkata begini :
“Kenapa orang menggemari Korea? Menghabiskan waktu dengan menonton drama korea? Orangnya indonesia tapi memakai luaran korea? Ikut-ikutan menyanyi korea, pakai baju Korea, menari / dance cover Korea? Orang indonesia tapi kenapa bangga dengan budaya Korea? Makan makanan korea? Orang Indonesia tapi menggilai hal-hal yang berbau budaya Korea? Cuci otak atau Brain Wash bukan hanya hal-hal berat seperti yang selama ini diberitakan namun juga hal-hal semacam itu. Cuci otak berarti reprogram atau put on other mind. Anda bukan orang merdeka jika anda diprogram, we are slave.”
Setelah mendengar itu saya langsung menunduk, saya sama sekali tidak menampik. Semua yang dikatakan beliau itu terjadi pada saya. Saya melakukannya. Semua orang dikelas saya, tahu bahwa saya adalah penggemar korea mereka mulai menunjuk-nunjuk saya dan menyebutkan nama saya. Saya mulai berkeringat dingin, saya mulai menyadari bahwa saya ternyata “sakit”. Daripada menyebut diri saya diprogram saya lebih menyukai mengatakan bahwa saya memiliki pribadi yang tidak sehat, karena saya kesannya seperti robot yang diprogram sama sekali tidak punya otak.
Tetapi bagaimanapun saya manusia biasa, saya punya defense mechanism, cara mempertahankan diri. Saya merasa punya alasan melakukan itu. Defensi saya yaitu, saya menyukai hal-hal semacam itu untuk coping stress. Namun, saya tidak mengungkapkan pemikiran saya. Saya tidak punya nyali, saya takut jika defensi saya dirobohkan dengan pernyataan lain.
Saya takut disebut salah satu contoh manusia yang diprogram media, tapi di satu sisi saya tidak denial. Setelah selesai kuliah ada beberapa teman yang bilang “Jangan nangis?” “Kamu gapapa kan de?” “Bapaknya rasis cuma ngomongin Korea aja?”. Mungkin teman – teman saya berkata seperti itu karena melihat raut muka yang merasa sangat tersindir. Sepanjang perjalanan pulang, saya merasa sedih bahkan hingga saya menulis hal ini, saya masih merasa sedih.