Sepanjang jalan saya berpikir, tentang defensi saya jika hanya sekedar coping stress, seharusnya saya tidak harus sampai sebegitunya. Saya selalu mencoba berbagai makanan korea yang ada di kota saya, mengambil gambarnya lalu mengunggahnya ke media sosial. Menggunggah foto oleh-oleh jajanan Korea yang diberikan kakak saya, yang baru pulang dari Korea. Dan beberapa saat yang lalu, saya bersama teman saya yang juga kpopers berencana untuk mengcover dance Korea lalu ingin mengunggahnya ke youtube. Saya orang Indonesia tapi terlalu membanggakan budaya Korea. Bukankah saya sudah dicuci otak / diprogram?
Saya baru sadar kalo saya “sakit”, saya benar-benar rawat jalan di psikologi. Dulu ketika saya kuliah psikologi sosial II. Saya ditanya oleh asdos yang mengajar, “Kenapa masuk psikologi?” Saya menjawab asal “Rawat jalan,bu”. Dan ternyata di semester 6 ini, ketika saya mempelajari psikologi kognitif ditambah psikoterapi saya merasa benar-benar rawat jalan.
Saya tidak tahu apakah saya bisa benar-benar berhenti untuk menyukai budaya Korea? Saya merasa masih membutuhkannnya untuk coping stress. Semoga pelajaran yang saya dapat ini, menghilangkan rasa congkak saya yang merasa sudah benar dalam berpikir, saya masih perlu belajar menalar , mengevaluasi apa yang saya perbuat. Saya bukan budak. Tidak menerima serta merta apa yang diberikan, saya harus menggunakan neokorteks. Karena jika saya tidak berpikir, maka orang lain yang akan berpikir untuk saya.
Semoga mempelajari psikologi tidak hanya menyadarkan saya bahwa ada hal yang salah dalam kognisi saya, semoga juga bisa menjadi self-healing untuk saya. Kejadian ini tidak membuat saya membenci psikologi kognitif, tetapi malah membuat saya jatuh cinta dan ingin mendalaminya lebih lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H