Pertama kalinya dalam 91 tahun, pada tanggal 10 Agustus 2014 Turki mengadakan pemilihan umum untuk presiden. Sebelumnya, presiden selalu dipilih oleh parlemen. Recep Tayyib Erdogan terpilih menjadi presiden Turki yang ke 12, mengalahan dua pesaingnya Ekmeleddin Ihsanoglu yang merupakan Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam sejak 2005 dan Selahattin Demirtas yang merupakan politisi etnis Kurdi di Turki.
Selama masa pemerintahan Erdogan, mengingatkan kembali pada Mustafa Kemal (Ataturk). Pada tahun 1920, Ataturk melancarkan gelombang reformasi Turki untuk menyamakan Turki dengan Eropa. Ataturk berpendapat bahwa kedaulatan Turki di atas segalanya. Sama halnya dengan Erdogan yang memberikan pemikiran tegas bahwa “Turki Jalan Sendiri”. Sejak awal memimpin Erdogan sudah menyiapkan masyarakatnya untuk memiliki jiwa merdeka dan menyakini bahwa kepentingan Turki ditentukan oleh masyarakat Turki sendiri.
Salah satunya dibuktikan dengan keanggotaan Turki di Uni Eropa. Pada tahun 1963, sebelum masuk menjadi anggota Uni Eropa, Turki berusaha untuk mendaftar sebagai Anggota Masyarakat Ekonomi Eropa. Namun, negosiasi secara penuh baru berjalan pada tahun 2005. Sulitnya Turki untuk masuk sebagai anggota Uni Eropa dikarenakan masalah Siprus dan lambatnya reformasi di Turki. Setelah menunda pembicaraan, pada tahun 2015 Merkel, yang akan memimpin beberapa negara anggota Uni Eropa, menyambut keanggotaan penuh Turki.
Hal ini disebabkan membanjirnya pengungsi Suriah di negara-negara Uni Eropa. Bisa jadi ini sudah terlambat, disaat Turki sudah menjadi negara yang kuat, Uni Eropa baru membuka pintunya. Hal ini lah yang membuat prospek ini ditanggapi dingin oleh Turki. Erdogan sudah memberikan isyarat yang jelas bahwa Turki sekarang menjadi negara kuat dan tidak lagi menjadi pengemis di depan “pintu” Uni Eropa. Kehidupan rakyat Turki, tanpa Eropa sudah sejajar dengan mereka.
Berdasarkan teori Herman, Preston, dan Young (1996) dalam psikologi politik gaya kepemimpinan Erdogan termasuk Independen aktif dimana fokus perhatian pada memelihara kemampuan dan kemerdekaan yang dimiliki oleh dirinya sendiri dan pemerintahan, di dunia yang dipersepsikan terus menerus – menerus mencoba membatasi keduanya. Ketika Turki menjadi negeri berpenduduk muslim di Eropa dan “dibatasi” ketika berusaha menjadi anggota Uni Eropa. Turki menentang batas-batas tersebut dan memilih untuk fokus pada perbaikan dalam negeri seperti pendidikan, transportasi udara serta ekonomi yang menjadikan Turki tampil sebagai negara yang kuat, penting dan sejajar dengan negara-negara Eropa lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H