Proses pemeriksaan terhadap pentolan Front Pembela islam (FPI), Habib Rizieq Shihab, atas dugaaan pencemaran nama baik Presiden pertama Republik Indonesia Ir.Soekarno dan penghinaan terhadap Dasar Negara Pancasila,  diwarnai oleh aksi demo dan perang mulut dari kubu FPI dan kubu Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI), Bentrok massa FPI dengan kelompok GMBI terjadi di depan Markas Polda Jawa Barat, Jalan Soekarno-Hatta, Kota Bandung, Jawa Barat. Akibat kejadian, satu mobil rusak berat setelah dilempari batu oleh orang tak dikenal, tidak hanya GMBI organisasi masyarakat Adat Sunda pun juga menuntut, agar Habib Rizieq Shihab ‎diproses secara hukum karena diduga telah menghina budaya Sunda dengan mengucapkan salam "Sampurasun" menjadi "campuracun".
Fenomena saling adu domba ini terjadi, bukan tidak mungkin pula ke depan kita akan panen konflik-konflik antar sesama. Dalam kondisi tertentu, hal ini riskan terhadap kemungkinan terjadi benturan antara ormas-ormas lokal yang bervisi nasionalisme, tak terkecuali ormas muslim selaku umat mayoritas di Indonesia.Â
Selama era Orde Baru kita merasakan bahwa konflik horisontal berupa bentrokan antar masa yang disertai dengan kekerasan nyaris tidak pernah terjadi. Kehidupan antar umat beragama, antar suku, antar etnis dan antar kelompok dalam masyarakat berlangsung dalam kedamaian. Tetapi pada era reformasi ini, dimana kehidupan dinyatakan oleh para pakar politik lebih demokratis, justru diwarnai oleh konflik horisontal dengan disertai oleh tindakan kekerasan, situasi pun tambah memanas ketika para netizen memanas-manasi keadaan.
Bisa kita ambil kesimpulan, bahwa managemen konflik ini sengaja diciptakan, agar semua anak bangsa terus digaduhkan dengan persoalan-persoalan ini, saat kita fokus terhadap satu masalah, kita tidak tahu masalah yang lainpun berlangsung, yakni penguasaan ekonomi dan pencaplokan sumberdaya alam oleh asing, mereka lolos dari pengamatan kita semua. Seandainya mereka yang terlibat konflik paham bahwa selalu  ada pihak yang diuntungkan pascakonflik, mereka pasti tidak mau menjadi "alat perusak",  mereka hanya dijadikan tumbal-tumbal kepentingan, mereka ini tidak akan pernah meraup keuntungan.Â
Bisa saja ujung-ujung akan meruncing kestabilan NKRI dan Jokowi lah yang nantinya menjadi sasaran empuk, penggulingan kekuasaan (kudeta). Proses pemerintahan yang terputus ditengah jalan sangat berbahaya bagi kestabilan Negara, dari segi biaya sangatlah besar, dari mana semua itu, kalau tidak dari rakyat atau kekayaan alam.
Oleh karena itu, lebih baik, semua ormas yang terlibat mendinginkan kepala dan jangan mau diadu domba dengan provokasi-provokasi yang sebenarnya sudah terpola dan bisa dibaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H