Kekecewaan papa yang pertama sejak kamu dilahirkan hingga saat itu adalah saat kamu menunjukkan surat DO dari kampus pada papa. Karena kamu tidak pernah mengikuti pelajaran praktek pada saat perkuliahan. Itu benar-benar seaakan menusuk jantung papa. Dan waktu papa tanya alasannya lewat mama, kamu bercerita bahwa kamu terlalu jijik lihat mayat, takut, dan sering muntah-muntah karena mual. Kamu juga bilang bahwa dunia medis itu kejam, porno dan nggak sesuai buat kamu. Terbesit di benak papa pada saat itu, munkin salah apa yang papa ajarkan pada kamu. Pastilah kamu syok begitu melihat mayat di hadapan, karena setiap berita pembunuhan selalu papa ganti chanelnya. Pasti sadis buat kamu saat harus mempelajari alat-alat kedokteran seperti pisau dan lain-lain karena setiap tayangan televisi yang mengandung kekerasan, papa larang kamu untuk melihatnya walaupun cuma film kartun. Dan pastilah porno melihat gambar-gambar telanjang di buku pelajaranmu sendiri, karena papa selalu menjauhkan kamu dari hal yang satu itu.
Selepas dikeluarkan dari kulia, kamu memutuskan untuk magang. Kebanggan papa pada kamu kembali tumbuh, karena kamu mampu cari kerja sendiri tanpa papa bantu. Meskipun ada ribuan relasi papa yang siap menampung kamu dengan awal jabatan yang tinggi.
Kamu kerja di kantor televisi swasta, dunia entertainment yang menjarkan kamu banyak hal yang mungkin menurutmu itu baik. Namun duniamu itu seperti kepalsuan untuk papa. Di situlah kamu mulai berubah. Gaya rambut kamu berubah, cara berpakaian kamu berubah. Beberapa kawan papa pun sering melihat kamu jalan dengan perempuan-perempuan yang berbeda. Kamu mulai pulang larut malam dengan alasan pekerjaan. Dan papa kerap kali memarahi bahkan memukulmu, karena mencium alkohol dari seorang Hakim yang kini jadi artis. Sepuluh kali sehari, gadis-gadis telepon kamu berulang kali, Kamu mulai belajar main prempuan. Konsentrasi bekerja papa pun sering buyar dan berantakan karena terpikir kamu. Papa ngga tidur hanya untuk memastikan kamu pulang dengan selamat. Alkohol bukan yang bisa kamu andalkan buat mengantarkan kamu pulang. Di pagi hari kamu muntah-muntah, menangis papa lihat kamu sakit gara-gara barang haram itu.
Papa sejenak melupakan kamu, saat Aka Lazuardi kakak kamu menikah. Papa punya cucu, keturunan papa sudah bertambah ke generasi berikutnya. Wajah papa seperti dialihkan kembali pada kamu saat kamu mengutarakan niat menikah dengan calon istri satu tempat kerja di Label Musik, pekerjaan kamu berikutnya setelah kamu selesai magang di TR*** TV. Mungkin dengan menikah membuatmu bisa lebih dewasa dan menjadi lebih baik ke depannya. Â Apalagi Alinda seolah menyeretmu jauh ke dalam aura positifnya. Kamu jarang pulang malam atau pagi lagi. Tidak minum-minum lagi, merokok pun berkurang.
Pernikahan ini harus lebih mewah dari kakakmu. Harus besar-besaran, karena kamu anak terakhir papa dan papa tidak lagi akan mengadakan pesta perkawinan lagi setelah pernikahanmu. Apalagi Alinda juga anak seorang pengacaea hebat yang cukup papa kenal baik. Pesta pernikahanmu yang sudah papa rancang sedemikian rupa itu batal. Padahal persiapan sudah 90%. Gedung sudah dipesan, catering oke, undangan sudah selesai cetak. Beberapa pun sudah tahu dengan pesta besar yang akan diadakan itu. Batal dalam sehari, tanpa keterangan tanpa sebab yang jelas.
Papa masih bisa menarik nafas, mungkin Alinda bukan jodoh buat kamu. Tapi 2 minggu setelah pembatalan itu, kamu bilang kamu harus menikahi Alinda karena Alinda hamil sama kamu. Hampir pingsan papa mendengarnya. Papa berpikir, dulu beberapa peremouan adatang ke rumah, minta kamu tanggung jawab karena kamu sudah menodai mereka. Papa usir semua, papa anggap mereka cuma bohong hanya karena begitu terpesona dengan ketampanan kamu saja. Tetapi ternyata setelah mendengar Alinda hamil, papa sadar bahwasannya perempuan-perempuan itu tidak berbohong. Justru kesalahan papa melindungi penjahat di rumah papa sendiri.
Papa tidak ingin melihatmu lagisa saat itu, papa muak dan di ambang batas kesabaran papa. Papa hanya menganggap punya satu putra di kehidaupan papa Aka Lazuardi dan bukan Hakim Fauzan.
Sejak saat itu, papa tidak pernah mau tahu lagi apapun tentang kamu. Sejak papa mengusir kamu dari rumah, papa menganggap kamu tidak pernsih ada buat ada. Meskipun papa tahu, mama masih ada buat kamu. Mengawasi, menjaga dan masih menemui kamu sembunyi-sembunyi. Bahkan saat Alinda melahirkan, sedikit pun papa tidak ingin melihat cucu perempuan papa itu. Entah cucu papa yang keberapa, kalau melihat kalakuan kamu di luaran sana.
Bahkan ketika papa mendengar kamu menikah lagi yang kedua kali, papa juga belum bisa memaafkan kamu. Sampai suatu malam papa bermimpi. Bermimpi hal yang mengintakan dan menyadarkan papa bahwa kamu adalah bagian dari darah daging papa. Bahwa kesalahan-kesalahan kamu adalah bukti kegagalan papa mengajarkan tentang suatu arti dan makna dari kehidupan ini. Bahwa sampai saat ini kamu masih berdiri adalah karea keberanian dan kekuatan kamu agar ters dapat melanjutkan hidup. Bukan seperti papa yang berhenti dari tentara adalah karena bayangan ketakutan-ketakuta yang belum terbukti. Dan mimpi buruk itu seolah menjadi nyata saat malam itu papa menginjakkan kaki di rumahmu. Mendapatkan keadaan saat kamu terbujur bergelimang darah. Keadaan itu membuat papa tersadar bahawa adalah sebuah kesalahan, mengajarkan kamu untuk menghindari kejahatan bukan melawan kejahatan. Salah dan benar papa pun nggak yakin. Yang papa tahu sekarang, setiap nafas dan detak jantung kamu adalah yang paling berharga.
Setiap tetes darah yang menggalir di darahmu adaah anugrah terindah yang papa rasakan. Saat melihatmu, mendengar tangis pertamamu, menikmati saat kamu tumbuh, belajar berjalan, belajar bicara, masuk sekolah Taman Kanak-kanak, papa masih ingat betul dan jelas setiap senyum dan tertawamu. Menyaksikan kamu terbaring disini, dengan berbagai alat dan mesin yang memberimu nafas di hidup yang dokter bilang ini koma. Akhhh... kamu seakan ngga ada lagi, karena bernafas sendiri pun kamu nggak mampu. Papa ikhlas gantikan nafas papa buat kamu, papa mau tidur disini dan kamu saja yang duduk. Papa minta maaf Hakim, papa minta maaf..... karena meninggalkan kamu disaat kamu belum mampu berpijak sendiri. Papa minta maaf.... Hakim..." Kalimat terakhirnya ia sematkan dengan terisak hebat, melepaskan genggaman tangannya , menghapus air matanya dan keluar.
* * * * *