29 Agustus 2013Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Peristiwa Berdarah
Sudah seminggu aku melihat dia sakit, entah sakit karena apa. Mungkin karena kesehariannya yang penuh dengan sepi, rindu dan sisa luka. Makan yang tidak teratur, beban pikiran yang tiada berkesudahan. Aku pun merasakan bahwa coban ini amatlah sangat berat.
Ia sering termenung, melamun dan menundukkan kepalanya, sering menatap kosong layar kaca tv yang menyala sehari penuh. Ia juga terkadang melakukan pekerjaan rumah berjam-jam lamanya untuk mengalihkan pikirannya mungkin. Ia mencuci piring, menyabuninya lama dan berulang-ulang, membilasnya perlahan dan juga berulang-ulang.
Akh… sering aku palingkan wajah jika sedang mengamatinya, tak sanggup aku menahan air mata ini, melihat apa yang tengah dirasakannya. Ia telah banyak berubah, mungkin sekarang sisi baiknya mulai berbicara.
Malam ini ditengah sakit yang menderanya, ia menutup hari dengan menonton tv. Seperti biasa, pandangannya kosong. Terdengar ketukan keras di pintu. Terdengar sangat tidak bersahabat.
Saat itu pukul 20.00 WIB. Dan saat ia membukakan pintu, kalimat makian menyambutnya. Seketika disusul pukulan telak ke arah perutnya. Terus berulang-ulang, mengenai wajah, pelipis, rahang, dada, dan perutnya. Hanya dengan sedikit perlawanan yang ia mampu, menghantarkannya jatuh tersungkur memegangi perutnya.
Kata-kata makian itu masih saja terdengar beruntun saat salah seorang kawan dari si pemilik makian mendekatiku dan mmengarahkan pisau tepat dihadapanku, mencegah agar aku tidak berteriak.
Mantan pacar dari istri keduanya itu merasa marah karena mengetahui bahwa mereka telah menikah. Untunglah keponakanku yang berusia 3 tahun tidur nyenyak dalam buaian tanpa terbangun dengan keributan ini. Kalau saja tida, akibatnya pasti akan jauh lebih fatal.
Mereka pergi dengan meninggalkan kenangan di sisi kiri perutnya. Menancapkan pisau lalu menarik kembali pisau dengan keras yang mengalirkan darah segar di tubuh yang tanpa daya itu. Sesaat kemudian aku berteriak membangunkan keheningan sekitar, mencoba menyadarkan dan memanggil-manggil namanya.
Mama dan papa tercitanya datang beberapa saat kemudian, meskipun tanpa kabar dan berita. Mamanya bilang bahwa sang papa bermimpi yang buruk tentangnya. Maka seketika hancurlah keping-keping armarah yang dipelihara terhadap anak bungsu kebanggannya itu. Saat melihat tubuh darah dagingnya beringsut berrselimutkan darah.
Mereka membawa ke rumah sakit terdekat, dan ia menyisakan detak jantung yang lemah, nafas lambat dan tanpa kesadaran. Jiwanya mungkin sedang menerawang mempertaruhkan hidup dan matinya, mempertanyakan apakah masih jiwanya diharapkan? Apakah masih sayang, cinta dan perhatian hanya untuknya?
Air mataku membanjiri seuruh tubuh ini, mencoba menghubungi Nadya dengan tangan yang masih berlumur darah. Istri keduanya yang tanpa kabar, tidak bisa dihubungi. Aku pejamkan mata, berdo’a, berharap keajaiban terjadi. Apapun akan kulakukan untuk dapat kembalikan senyumnya, untuk kebahagiaanya, untuk semua pengharapannya. Hanya untuk dia…
--The End –
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H