Hingar bingar perayaan Copa America Centenario, helatan sepakbola paling akbar di Benua Amerika telah berakhir satu pekan lalu. Di luar drama yang disajikan di laga final (atau lebih tepat disebut tragedi untuk Argentina), Copa America edisi spesial 100 tahun menyajikan banyak simbolisasi besar, yang bahkan lebih besar dari sepakbola itu sendiri.
Dalam pembagian wilayah FIFA, Benua Amerika unik karena terbagi menjadi Conmebol; asosiasi sepakbola representasi Amerika utara, dan Concacaf; tetangganya di selatan. Meski pun bertetangga Conmebol dan Concacaf bagaikan minyak dan air, hanya Meksiko negara zona Conmebol yang cukup akrab dengan Concacaf karena kedekatan budaya dan geografis.
Tidak hanya dalam sepakbola, proses sejarah panjang sejak kedatangan bangsa berkulit putih di Amerika telah memisahkan Amerika menjadi utara-selatan. Menelusuri jejak sejarahnya, Inggris dan Perancis agresif melakukan koloni di bagian utara sehingga bahasa yang digunakan kebanyakan penduduk utara adalah bahasa kedua negara tersebut, sementara bahasa Spanyol atau Portugal mendominasi bagian selatan. Demikian juga secara ideologi kenegaraan, ketika sebagian besar wilayah di utara menganut faham ekonomi kapitalis, negara-negara sosialis mayoritas berada di selatan.

Lalu, karena pertimbangan ekonomi itu sejarah pun mencatat untuk pertama kalinya Copa America digelar di luar “negeri selatan”, dengan keikutsertaan gabungan antara negara-negara amerika selatan dan utara. Walau pun kedua finalis dan juaranya tetap dari selatan.
Sekali lagi menelusuri jejak sejarah, ketika Copa America pertama diadakan di Buenos Aires, bersamaan dengan perayaan kemerdekaan Argentina ke-100. Sejarah sepakbola mencatat pemain berkulit hitam ambil bagian dalam sebuah pertandingan antar negara. Adalah Isabelino Gradin and Juan Delgado, pemain kulit hitam yang membawa Uruguay menjadi juara Copa America edisi pertama, dengan Argentina sebagai runner-up. Nama pertama pula yang menjadi top scorer turnamen dengan 3 gol.

Uniknya pada Copa America edisi ke-3 di Brazil, Uruguay justru mendapat dukungan penduduk kulit hitam Brazil berkat kehadiran Isabelino Gradin. Itu terjadi karena keengganan asosiasi sepakbola Brazil untuk memasukkan pemain kulit hitam ke dalam tim nasional Brazil. Meski hasil pertandingan antara Uruguay dan Brazil, yang tercatat dalam sejarah sebagai pertandingan sepakbola paling lama tersebut dimenangi Brazil, kehadiran Isabelino Gradin di timnas Uruguay saat itu seperti menjadi inspirasi bagi kesuksesan tim nasional Brazil masa depan. Saat menjuarai 5 edisi piala dunia, dan hingga saat ini, tim nasional Brazil dimotori oleh bakat-bakat pemain keturunan Afrika, seperti Pele dan Ronaldinho.
Di akhir karir sepakbola Isabelino meredup karena "pemberontakan" terhadap Asosiasi Sepakbola Uruguay (FAF), tahun 1927 saat terakhir bermain untuk Uruguay, dia tercatat 24 kali bermain dan mencetak 10 gol untuk Uruguay. Walau pun prestasi Isabelino Gradin sendiri tidak hanya dibuktikan di lapangan sepakbola, karena namanya tercatat sebagai juara 4x kejuaraan atletik Amerika Selatan untuk lari sprint 400m dan 200m.
Sejarah seperti mengulangi goresan pena perjuangan Isabelino Gradin 100 tahun kemudian dalam bentuk yang berbeda. Meski pun dikatakan negara yang sangat toleran, kenyataannya di Amerika Serikat isu-isu Suku, Agama, dan Rasial (sara) selalu menjadi bibit konflik. Naiknya seorang presiden keturunan Afro-Amerika, Barrack Obama, sekali pun tidak menyurutkan sensitifitas isu rasial di Amerika Serikat. Lalu bersamaan memanasnya pusaran isu rasial dan agama menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat yang disulut oleh salah satu kandidat presiden, ada turnamen besar sekelas Copa America berlangsung di tanah Amerika Serikat. Tim nasional dengan pemain dari berbagai ras, agama, kebangsaan, bahu membahu membuktikan bahwa tanah seluas 7.140 meter persegi bisa menjadi tempat persaingan terpanas sekaligus tempat kerukunan paling menyejukkan, seolah memberi penegasan bahwa Benua Amerika, khususnya tanah Amerika Serikat, sesungguhnya tidak menerima diskriminasi sara.
Bagi sebagian kalangan, sepakbola adalah simbol persatuan, simbol perlawanan, simbol kebanggaan, simbol perdamaian, bahkan sepakbola menjadi penggerak ekonomi, inspirasi, tradisi, hingga menjadi semacam ideologi di beberapa negara. Ya,... Sepakbola telah ber-evolusi menjadi lebih dari sekedar olahraga. Apa pun latar belakangnya, kesuksesan pelaksanaan Copa America Centenario meninggalkan jejak lebih dari sekedar terselenggaranya sebuah event olahraga. Seperti 100 tahun lalu ketika Isabelino Gradin bertanding untuk timnas Uruguay, kesuksesan Copa America Centenario membawa pesan perjuangan kesetaraan ras di jantung peradaban Amerika.