Mohon tunggu...
Irpanudin .
Irpanudin . Mohon Tunggu... Petani - suka menulis apa saja

Indonesianis :) private message : knight_riddler90@yahoo.com ----------------------------------------- a real writer is a samurai, his master is truth, his katana is words. -----------------------------------------

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

“Gelombang Ketiga” Anis Matta: Penihilan Sejarah Islam Nusantara

29 Januari 2014   09:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:21 2565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13911493261815599744

[caption id="attachment_319433" align="aligncenter" width="467" caption="The Third Wave kw3"][/caption] Berawal dari tulisan singkatnya pada sebuah surat kabar berbahasa Inggris, Presiden Partai Keadilan Sejahtera: Anis Matta (AM) meniupkan nafas optimisme nasionalis.   AM menyebut tahun 2014 sebagai Gelombang Ketiga tahapan sejarah negara Indonesia, jargon yang kemudian bergema di segenap konstituen partai yang dipimpin AM. Bahkan AM berrencana menerbitkan buku gelombang ketiga tahapan sejarah Indonesia-nya ***). Di luar istilah "The Third Wave" pinjaman dari buku berjudul sama, buah pikir Alvin Heidi Toffler di tahun 80-an, yang menarik perhatian saya adalah pemilihan angka 3 dalam analisis AM. Karena Gelombang Ketiga AM bergema menjelang momentum pemilu 2014, ketika PKS sedang berusaha untuk untuk meraih target posisi 3 besar. Barangkali sebuah kebetulan, pada pemilu tahun ini PKS juga memiliki nomor urut 3. Entah karena klenik atau alasan politis, Anis Matta sepertinya memaksakan diri untuk menerapkan angka 3 pada setiap kegiatannya. Ini ditunjukan dengan orasi dan tulisan AM yang konsisten menempelkan angka 3, termasuk foto diri di twitter @anismatta.  Selain analisis gelombang ketiga, diantaranya AM menyebutkan terjadinya 3 fenomena di Indonesia saat ini, atau menurut istilah AM ledakan segitiga (globalisasi, demokratisasi dan demografi penduduk) dalam salah satu orasi politiknya. Sebagai penikmat bacaan sejarah, saya tertarik dengan argumentasi Anis Matta yang alpa memasukan nafas Islam dalam analisis sejarahnya. Terlepas dari penetapan PKS untuk meletakan visi nasionalis dalam platform partainya, tulisan dan orasi AM menunjukan kebingungan identitas dengan menihilkan peran cendikiawan Islam dan kaum santri dalam sejarah pembentukan Indonesia. Islam sebagai perekat sebuah negara di jantung Nusantara bernama Indonesia adalah fakta yang didukung berbagai bukti. K.H Abdullah bin Nuh, seorang ulama ahli bahasa dan sejarah, menjelaskan secara detail perjalanan panjang Islam dan kaum santri dari permulaan masuknya Islam hingga era keemasan Banten*). Dalam usaha meluruskan sejarah Nasional, seorang ahli sejarah kontemporer: AM Suryanegara kemudian melanjutkan metode analisis KH. Abdullah Bin Nuh **), dengan menganalisis lebih luas mencakup sejarah Islam Nusantara dari era awal masuk hingga kemerdekaan. Jika gelombang dalam sejarah dimaknai sebagai fenomena sosial besar yang merubah arah sejarah, dengan memasukan unsur Islam dalam analisis Anis Matta seharusnya gelombang sejarah Indonesia telah melalui setidaknya 3 atau 4 gelombang, atau bahkan lebih. Pertama gelombang yang sama sekali tidak disentuh AM, yaitu meluasnya pengaruh Islam di nusantara. Gelombang ini adalah dari permulaan masuk Nusantara hingga diterimanya Islam oleh kalangan bangsawan Nusantara yang ditandai berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Berbeda dengan kerajaan Hindu dan Buddha yang lebih bersifat dinasti sektrian dan kedaerahan, pada kerajaan Islam adanya kesamaan pandangan hidup, hukum, dan sentralitas tokoh dalam diri Rasulullah SAW menjadikan Islam berfungsi sebagai perekat Nusantara. Berkembangnya kerajaan Islam di Nusantara lebih dari layak untuk menjadi gelombang pertama tahapan sejarah kenegaraan Indonesia. Sedangkan gelombang  pertama menurut AM adalah menguatnya kesatuan karena perlawanan terhadap kolonialisme penjajah asing. Paling tidak untuk fenomena tersebut  saya sepaham, tetapi menariknya AM menjadikan modulasi politik dan ideologi yang dipengaruhi cold war menjadi gelombang kedua sejarah Indonesia. Padahal jika mengamati sejarah, maka proses persentuhan pendidikan barat dengan pendidikan Islam pada kaum cendikiawan Islam di awal abad ke-20 mengambil peran lebih penting dari perang dingin. Perubahan karakter cendikiawan muslim di awal abad 20-an yang turut membentuk konsep ke-Indonesia-an tidak semestinya terlewat untuk dihitung sebagai gelombang sejarah berikutnya. Tokoh-tokoh kunci yang menjadi penentu sejarah kemerdekaan semacam Ir.Soekarno, Drs.Mohammad Hatta,H.Agus Salim, ,K.H.Wahid Hasyim,Ki Bagus Hadikusumo, Pof. Mr.Muhamad Yamin, Jend. Sudirman, dan adalah sebagian kecil kaum cendikiawan yang menerima pendidikan Islam tradisional dengan pendidikan a la Belanda atau Jepang. Maka bertolak dari analisis tersebut, fenomena saat ini bukanlah gelombang ketiga sebagaimana analisis AM, melainkan gelombang keempat, kelima atau bahkan keeenam. Karenanya saya meragukan pengakuan AM bahwa Gelombang Ketiga sebagai inti sari renungan yang dipersembahkan bagi Indonesia guna menyongsong abad baru. Kita tidak memungkiri kedatangan imperialis seperti Portugis dan Belanda berperan penting merekatkan Indonesia hingga seperti saat ini. Tapi sebuah hal yang sulit dimengerti ketika seorang yang diagungkan pengikutnya sebagai cendikiawan muslim menilai imperialisme dan perang dingin memiliki pengaruh lebih hebat dalam perubahan sejarah di Nusantara, dibanding gerakan cendikiawan muslim dan kaum santri. Barangkali ini hanya pandangan pribadi, AM menggemakan konsep Gelombang Ketiga sebagai sebuah strategi kampanye untuk meraih target politik 3 besar PKS.  Gelombang Ketiga disajikan melalui diksi yang cermat dan permainan retorika untuk kepentingan politik AM, bukan untuk bangsa Indonesia. Indah dan menyentuh ketika dibaca, tetapi dangkal riset dan berbumbu ilusi. Meskipun cukup bagus sebagai bacaan, Gelombang Ketiga AM hanya cocok untuk hiburan saat minum kopi sore hari, seperti tipikal karya-karya tulis Anis Matta atau buku-buku petualangan Enid Blyton. Gebrakan AM sebetulnya menghadirkan metode kampanye unik untuk menarik kembali "massa intelektual" PKS, yang sebagian menyempal menyusul langkah petinggi PKS untuk memilih politik pragmatis.  Tapi efektifitasnya sebagai senjata utama untuk meraih posisi 3 haruslah diuji dalam pemilu 2014. Berkaca dari tayangan semacam YKS di salah satu TV swasta yang menyingkirkan tayangan lebih bermutu, ada sebuah ironi dalam kampanye AM kali ini. Walaupun berbicara tentang demografi penduduk, AM tampaknya malah gagal membaca demografi penduduk Indonesia, karena masyarakat Indonesia belum cukup siap menerima kampanye pintar a la Anis Matta. Terakhir, menyitir kalimat Douwes Dekker: “Djika tidak karena sikap dan semangat perdjoeangan para oelama, soedah lama patriotisme di kalangan bangsa kita mengalami kemoesnahan”. Maka apakah peran Islam dan ulama akan dinihilkan, justru oleh orang yang oleh sebagian kalangan dianggap mewakili Islam? Bogor, 28 Januari 2014 *) Sejarah Islam di Jawa Barat Hingga Zaman Keemasan Banten, karya : K.H Abdullah bin Nuh **)  API SEJARAH, Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri Dalam Menegakkan NKRI, karya : Ahmad Mansur Suryanegara. ***) Hingga hari ini (19-02-2015) sepengetahuan penulis, buku Gelombang Ketiga AM ternyata belum pernah terbit. :) maaf note : Sebagaimana diterangkan, The Third Wave (Gelombang Ketiga) original adalah milik Alvin Toffler. Jadi jika merujuk pada kode produk tiruan dan klenik angka 3 maka Gelombang Ketiga AM adalah kw 3.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun