Sembilan orang hakim senior di Mahkamah Konstitusi telah memutuskan: kecurangan yang Terstruktur, Sistematis dan Massive (TSM) itu tidak dapat dibuktikan. Semua gugatan kuasa hukum 02 tidak dikabulkan majelis hakim yang memutuskan dengan suara bulat. Artinya, kesembilan hakim tersebut sepakat tanpa perbedaan pendapat.
Apakah keputusan tersebut meredakan isu kecurangan yang berkembang di masyarakat, terutama media sosial, dan lebih terutama di kalangan pendukung garis keras 02?
Ternyata tidak! Pengamatan penulis menunjukkan, di media sosial sebagian kalangan masih sangat meyakini bahwa keputusan hakim tidak adil.
Lebih jauh lagi, sebagian menuduh para hakim tersebut mendapat keuntungan materi, alias mendapat suap, untuk membuat keputusan tersebut. Konon mereka menyaksikan tiap detik jalannya sidang selama 5 hari, dan melihat bukti-bukti sangat jelas terjadinya kecurangan TSM. Bahkan ditambah lagi: Brutal, menurut Amien Rais. Sehingga menjadi tidak masuk akal kalau hakim menolak gugatan 02. Mereka mendoakan agar para hakim tersebut mendapat azab Tuhan karena berbuat tidak adil.
Ada lagi yang lebih konyol. Para simpatisan organisasi terlarang HTI menyalahkan demokrasi sebagai biang kerok atas keputusan 9 orang hakim tersebut. Ketidakadilan keputusan hakim adalah bukti carut-marutnya demokrasi, sehingga demokrasi harus digantikan sistem kilafah.
Ya,.... tiba-tiba saja di media bermunculan banyak hakim konsitutusi. Jumlah "hakim-hakim" tersebut ratusan, bahkan ribuan.
Berbeda dengan para hakim MK yang menempuh pendidikan hukum, kemudian berkarir di dunia hukum sejak muda dan menjadi profesional di bidang hukum. Para hakim di media sosial berasal dari berbagai kalangan dan profesi.
Ada yang bekerja di bank, lalu mereka melihat para hakim MK tidak paham hukum. Ada yang bekerja sebagai ahli IT dan melihat kebodohan hakim MK dalam bidang IT sebagai sabab musabab kesalahan keputusan tersebut. Ada yang bekerja sebagai pelayan toko, juga tiba-tiba menjelma menjadi lebih ahli daripada hakim MK.
Bahkan ada yang hanya mengenyam pendidikan sekolah menengah, tidak punya pekerjaan apa pun, sampai mampu menyaksikan jalannya sidang setiap detik, lalu merasa lebih ahli di bidang hukum daripada para hakim. Mereka mengangkat diri setara dengan guru besar di perguruan tinggi untuk menilai keahlian para hakim.
Padahal menjadi hakim tidak mudah, sangat tidak mudah, sangat amat sulit. Mereka yang duduk di kursi tertinggi pemutus peradilan itu harus sejak muda menempuh pendidikan hukum dan menjadi yang terbaik. Kemudian mereka berkarir di bidang hukum dan memutuskan berbagai kasus, hingga mencapai puncak karirnya sebagai hakim MK. Melihat usianya, Para hakim MK sudah berkarir dalam pekerjaan mereka selama paling tidak 30 tahun.
Bisa dibayangkan ada berapa ribu kasus yang sudah mereka tangani? Tidak masuk akal kalau orang yang baru melek hukum saat menyaksikan jalannya sidang saat pilpres bisa membuat keputusan yang lebih adil daripada para hakim MK.