Membuat vonis untuk Pemilu 2019 berdasarkan bukti-bukti di pengadilan dan murni pertimbangan hukum sepertinya hanya tugas ringan buat MK.
Kenapa demikian? Karena sudah menjadi rahasia umum kalau pengajuan gugatan kecurangan dari tim BPN hanyalah puncak drama berseri dari rangkaian drama yang sudah digelar sebelumnya. Dari drama romansa di panggung capres, drama komedi, aksi laga, sampai tragedi pun sudah terjadi. Kita sudah  menyaksikan semua drama itu. Jadi keputusannya sudah pasti, malahan aneh dan menjadi drama kalau tidak seperti yang jadi dugaan banyak pengamat.
Ketika perhitungan hasil pemilu menunjukkan 01 yang memenangkan piplres, justru 02 yang merayakan kemenangan. Ketika pemilu legislatif relatif diterima semua pihak, pemilu pilres ramai digugat. Apakah itu bukan drama?
Ketika terjadi amuk massa menanggapi keputusan pemilu, banyak tokoh yang mengatakan tidak tahu apa-apa. Padahal tidak mungkin massa sekian banyak bergerak kompak serentak tanpa ada koordinasi. Bukan drama namanya?
Tuduhan curang kepada lawan di pihak 01, kepada KPU sebagai penyelenggara, dan kepada Bawaslu sebagai pengawas pun bagian dari drama itu. Drama untuk mendelegitimasi lembaga sah yang berwenang menyelenggarakan pemilu.
Kali ini, saat mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai pemberi keadilan bagi sengketa pemilu, pun penuh dramatisasi. Â Bukti-bukti yang diklaim akan sangat mengejutkan sama sekali tidak terlihat mengejutkan, tidak lebih dari formalitas semata. Seolah peradilan MK hanya syarat untuk menunjukkan, entah kepada siapa, usaha terakhir memenangkan pemilu yang tidak mungkin dimenangkan. Sekedar drama untuk melengkapi konferensi pers, diskusi, dan debat yang sudah dijalani.
MK sendiri tidak kurang mendapat serangan, apalagi sampai hadir sebutan Mahkamah Kalkulator. Bagi saya pribadi itu adalah penghinaan kepada simbol negara. Sebuah pendidikan politik sangat tercela yang ditunjukkan tokoh yang seharusnya sudah menjadi teladan bagi setiap insan hukum di negeri ini.
Jalannya peradilan di MK juga sangat aneh. Alih-alih menyaksikan proses peradilan yang mendewasakan pemahaman hukum masyarakat, kita seperti dipaksa menonton perpanjangan waktu untuk kontestasi pemilu 2019. Sementara papan skor sudah jelas menunjukkan pemenangnya, jadi buat apa lagi perpanjangan waktu?
Sebagai pemohon, 02 mengajukan gugatan kepada KPU sebagai termohon. Kenyataannya di pengadilan, 01 dan 02 melalui kuasa hukumnya yang berdebat dan saling melempar narasi. Demikian halnya di dunia maya, pendukung 01 vs 02 belum berhenti saling menyerang melalui berbagi debat dan keributan.
Namun demikian meskipun menghadapi semua kebisingan drama itu, saya yakin para hakim MK tidak akan kehilangan fokus dalam menjalankan tugasnya. Sejatinya, MK adalah perpanjangan tangan Tuhan di dunia untuk tugas memberikan keadilan.
Meski keputusannya mudah dan sangat bisa ditebak, sangat sulit menumbuhkan rasa keadilan kepada semua pihak. Padahal menjadi tugas lembaga peradilan paling mendasar untuk memberi rasa keadilan kepada semua pihak.Terutama kepada masyarakat. Agar reda segala konflik yang mendera bangsa.
Lalu MK juga perlu memberikan pendidikan hukum yang baik, terlebih kepada tokoh hukum yang merasa berada di atas hukum. Pendidikan, bahwa baik yang menang maupun yang kalah pemilu berhak mendapat keadilan. Jangan sampai di masyarakat timbul pemahaman, kalau keadilan merupakan sinonim untuk kata kemenangan. Kalau saya tidak menang, tidak ada keadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H