Mohon tunggu...
Irpanudin .
Irpanudin . Mohon Tunggu... Petani - suka menulis apa saja

Indonesianis :) private message : knight_riddler90@yahoo.com ----------------------------------------- a real writer is a samurai, his master is truth, his katana is words. -----------------------------------------

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Revitalisasi Ipoleksosbudhankam di Era Digital Milenial (Antara Senyum Monalisa dan Senyum Jenderal Besar)

19 Juni 2019   07:40 Diperbarui: 12 Februari 2023   20:57 1821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Penataran P4 adalah kenangan sekolah tidak terlupakan untuk generasi lulusan SMA 80-an dan 90-an. Maksud saya tidak bisa melupakan kepanjangan katanya, yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Tuh, masih hapal kan? Soal materinya entah apa isinya, karena yang duduk di kursi paling depan ketiduran, yang duduk di belakang ada yang main layangan, ada juga yang main gundu dan kasti.

Kalau soal kata-kata panjang yang dibikin ringkas, saya ingat juga Ipoleksosbudhankam. Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan dan Keamanan, total ada 7 kata yang dibikin jadi satu. Mantera ini sangat terkenal jaman Mbah Paduka yang mulia, yang bertahta dan berkuasa di darat, laut dan udara Indonesia Raya selama 33 tahun, Jenderal Besar Soeharto.

The Smiling General, senyumnya misterius seperti Senyum Monalisa pada lukisan karya Leonardo Da Vinci. Bedanya senyum Monalisa membikin lukisannya menjadi yang termahal, sedangkan senyum Mbah Jenderal membikin orang ngeri-ngeri sedap. Karena mau senang atau pun marah sama saja, beliau tetap tersenyum.

Melihat senyum Mbah Jenderal orang tidak tahu harus merasa senang atau takut. Kalau bikin Si Mbah senang, bisa naik pangkat dan duduk di kursi basah. Sebaliknya kalau bikin kesal, dilempar tugas ke puncak pegunungan masih terbilang beruntung. Ada sebagian orang yang tiba-tiba hilang, pergi tidak pernah kembali, atau pulang tapi sudah tidak bernyawa.

Selain belajar bisa tersenyum dalam setiap keadaan. Termasuk hal yang perlu dipelajari dari Mbah Jenderal di era kekinian adalah Ipoleksosbudhankam (Tadi saya tuliskan di paragraf dua dengan cetak tebal, kalau anda lupa).

Saya tidak mengerti makna dan tujuan sebenarnya dari doktrin stabilitas Ipoleksosbudhankam, sebelum membaca berbagai buku referensi dan menangkap sekian peristiwa yang terjadi di negara kita. Setelah 30 tahun lebih, baru saya sedikit paham. Catat: cuma sedikit.

Maksud dari 7 kata dari doktrin Ipoleksosbudhankam adalah 7 pintu masuk yang mengancam negara. Kalau di Orde Baru terjemahkan saja "negara" sebagai "kekuasaan Bapak".

Jika terjadi salah satu dari (1) Rongrongan Ideologi, (2) Ketidakstabilan Politik, (3) Krisis Ekonomi, (4) Konflik Sosial, (5) Kerusakan Budaya, (6) Ancaman Pertahanan (dari luar), dan (7) Gangguan Keamanan ( dari dalam dan sifatnya berpotensi meluas), maka salah satunya bisa menjadi pintu masuk yang mengancam "negara".

Doktrin ini sangat keras dipegang oleh tentara dan aparat negara. Jangan harap bisa membahas soal pemikiran Marxis, Komunisme, dan sejenisnya di depan mereka. Kalau anda wisata ke Vietnam dan pulang mengenakan pakaian beratribut negara sana, dijamin tidak sampai satu minggu anda akan dipanggil ke Koramil. Lalu esoknya dinyatakan hilang.

Di saat yang sama, atribut keagamaan seperti kerudung, atau perayaan budaya seperti Tahun Baru Imlek, pun mendapat perlakuan yang kurang lebih sama kerasnya. Kerudung dilarang di era Orde Baru, karena dinilai menjadi simbol rongrongan Ideologi negara. Tentu saja Pancasila juga mengikuti terjemahan versi Orde Baru.

Kenapa HTI bisa tumbuh dan berkembang? Sampai kemudian saat tahun silam dibubarkan ada juga yang menyumbang simpati. Karena selama 20 tahun selepas reformasi, gerakan yang merongrong ideologi dibiarkan! Zaman Orde Baru, baru tumbuh pucuknya saja sudah ditebas.

Demikian halnya untuk gangguan keamanan yang berpotensi meluas, Mbah Jenderal tidak pandang bulu menjatuhkan vonis mati. Kasus-kasus penindakan kekacauan seperti tragedi Tanjung Priok, Kasus Talangsari hingga penembakan misterius (Petrus) adalah upaya meredam dan melokalisir gangguan keamanan.

Hebatnya, pelaksanaan stabilitas Ipoleksosbudhankam sangat berhasil, battle proven. Terbukti nyata mengawal stabilitas negara. Bagaimana pun 32 tahun bukan waktu yang singkat untuk duduk di kursi tertinggi sebuah negara besar. Ingat ya, ganti kata "negara" dengan "kekuasaan Bapak"! Bahkan Bung Karno pun tidak bisa melakukannya.

Tujuh kata itu adalah satu kesatuan utuh yang saling mengait satu sama lain. Ironisnya, kekuasaan Sang Jenderal Besar kemudian tumbang dimulai dari (3) Krisis Ekonomi, lalu menjadi (4) Konflik Sosial, diikuti (7) Gangguan Keamanan yang meluas, dan akhirnya menjadi (2) Ketidakstabilan Politik.

Saya tertawa, ketika seorang kawan mengatakan saya berlebihan dan paranoid karena melakukan analisa ancaman konflik Suriah di negara kita. Padahal saya mengikuti teori yang sudah terbukti saat dipraktikkan oleh Jenderal Besar. Dia mengutip kalimat seorang ustad ngetop saat menjawab pertanyaan Kapolri: "konflik Suriah dapat terjadi di negara kita jika rasa keadilan dan penegakkan hukum tidak berjalan dengan baik".

Meskipun beliau ustad terkenal yang memiliki jutaan jamaah, saya sangat tidak setuju dan menolak teori beliau, bahwa ancaman terhadap negara berasal dari rasa keadilan penegakan hukum. Itu teori yang tidak memiliki dasar, ustad tersebut tidak paham Ipoleksosbudhankam. Mungkin dulu beliau tidak pernah ikut penataran P4 seperti saya.

Teori yang tidak battle proven tidak perlu diikuti, meskipun itu keluar dari mulut ustad ternama. Kita tahu di era Orde Baru hukum adalah mainan penguasa, tidak ada keadilan hukum. Orba menjaga kestabilan Ipoleksosbudhankam dengan tangan besi, dan negara mampu melewati lebih dari 30 tahun dalam kestabilan. Meskipun mencekam.

Belajar dari era Orde Baru, penting bagi pemerintah sekarang untuk melakukan revitalisasi mantera Ipoleksosbudhankam. Tujuh kata keramat itu adalah pintu masuk bagi pihak-pihak yang akan melakukan ancaman terhadap negara. Terlebih di era digital, ancaman terhadap negara deras mengalir di jalur media sosial. Kali ini negara yang benar-benar negara, ya.

Penanaman pemahaman Ipoleksosbudhankam kepada aparat, PNS, perguruan tinggi, dan masyarakat perlu diperkuat seperti saat orde baru berjaya. Mumpung sekarang belum terlambat. Soal pelaksanaannya, mustahil kita ingin mengulang kenangan pahit masa silam. Era saat semua orang tunduk dengan mulut dibungkam memandang Senyum Monalisa, eh Senyum Sang Jenderal. Bagaimana pun itu terlalu kelam untuk diulang. Tapi sejarah ada untuk menjadi pelajaran, demikian juga sejarah era Orde Baru.

Supaya setiap warga negara, khususnya alat-alat negara non polisi dan militer, mau turut serta berperan menjaga stabilitas negara. Tentu bukan dengan menembak mereka atau menculiknya, tetapi memperkuat informasi dan pemberian paham tentang kenegaraan. Karena lemahnya pemahaman kesadaran bernegara di masyarakat dan sebagian aparaturnya telah berada pada titik mengancam negara. Sekali lagi ini negara dalam arti yang sebenarnya.

Minimal masyarakat sadar untuk tidak aktif melakukan ancaman terhadap negara dan simbol-simbol negara. Atau lebih minimal lagi, tidak menjadi pembela mereka yang membuka kotak pandora kegoncangan Ipoleksosbudhankam.

Hari ini kita perlu menumbukan kesadaran Ipoleksusbudhankam dengan rasa yang berbeda, sebut saja Ipoleksosbudhankam rasa milenial. Demi menjaga Indonesia Raya yang damai dan aman. 

Mengutip Chairil Anwar, agar negara kita hidup 1000 tahun lagi.

Irpanudin

Bogor, 19 Juni 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun