Berapa jumlah pemilih pemula di tahun 2019 ini? Bagi penulis, pertanyaan itulah yang akan menjadi kunci bagi kemenangan pilpres dan pileg 2019.
Demografi pemilih generasi lama tidak akan berubah terlalu besar. Mereka (termasuk saya) sudah lama mengenal kedua kandidat. Sebagian "pemilih tua" bahkan tidak lagi memusingkan visi-misi atau program kerja kedua kandidat, apa pun yang akan dikatakan atau diperlihatkan kandidat tidak berpengaruh pada pilihan yang sudah digenggam jauh-jauh hari. Kalau pun ada perubahan, menurut perkiraan penulis jumlahnya sangat sedikit.
Berbeda dengan pemilih pemula, mereka gamang karena 2019 adalah pengalaman pertama mereka berdemokrasi. Informasi menjadi penting sebagai bahan pertimbangan memilih kandidatnya. Sayangnya informasi mengenai para kandidat yang disajikan di tambang terbesar berita dan opini, justru tidak mengajarkan demokrasi yang sehat dan mendidik.
Caci-maki, manipulasi data, penyesatan logika oleh politisi dan pengamat sesat, dan berbagai berita bohong, mewarnai arus informasi di internet dan media sosial. Â Kondisi semacam ini bukan indikasi demokrasi yang sehat, dan sangat memprihatinkan. Baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, ini mengancam kedamaian dan keutuhan bangsa.
1. Kita memilih manusia, bukan memilih malaikat.
Sadarilah bahwa capres atau pun caleg adalah manusia, sedangkan manusia itu tempatnya salah dan dosa. Mau bergelar ustad, pakai gamis gombrang dan turban segede ban traktor, mereka manusia yang bisa khilaf, jadi jangan mengharap manusia pilihan yang sempurna.Â
Bahkan seandainya kandidat yang akan kita pilih itu terlihat tanpa cela sekalipun, itu karena Allah yang menutupi segala salah dan kurangnya. Bukan karena dia manusia sempurna tanpa cacat. Jadi kalau pemimpin atau pilihan anda ada kekurangan, ya dimaklumi saja, namanya juga manusia. Sebaliknya, lawan pilihan anda juga bukan setan kok.
2. Kita memilih pemimpin untuk pelaksana pemerintahan, dan wakil rakyat untuk legislatif.
Hanya di zaman dahulu raja berkuasa mutlak atas suatu wilayah dan penduduknya. Dalam sistem demokrasi modern ada koridor kekuasaan, presiden atau kepala negara tidak memiliki kekuasaan mutlak, dia punya tugas dan wewenang yang dibatasi aturan dan hukum. Sementara DPR juga memiliki tugas dan wewenangnya sendiri, sehingga DPR-Presiden saling menyeimbangkan.Â
Seandainya pemimpin terpilih adalah diktator otoriter sekalipun, tata hukum negara saat ini memiliki mekanisme untuk menjatuhkannya dari kekuasaan. Jadi tidak perlu anda mengangkat senjata karena pilihan anda kalah.Â