"Saya ingin melihat pertandingan tinju, ada yang dijotos K.O, terkapar, kalah telak, supaya ada yang dipermalukan dan kapok." Demikian kata Rocky Gerung dalam acara bincang politik di sebuah stasiun televisi.
Pernyataan Rocky menunjukkan pandangan mengenai arah demokrasi Indonesia yang diinginkannya. Bagi dia, panggung demokrasi adalah ring tinju, atau octagon MMA. Sebuah tempat dimana dua orang bertarung, saling memukul untuk membuat lawannya terkapar tidak berdaya.
Pemahaman dan -mungkin juga- sejarah pendidikan Rocky secara jelas menunjukkan bagaimana dia mengadopsi bulat-bulat pandangan demokrasi dari barat. Dengan cara bicara, gaya, dan gestur tubuh Rocky yang sangat mirip Foucault, seorang filusuf Perancis. Lalu pola pikir Foucault-isme yang ditunjukkan Rocky, gamblang sekali memperlihatkan bahwa menurut pandangan Rocky satu-satunya cara menerjemahkan kata demokrasi adalah 100% mengambil pemahaman demokrasi a la barat.
Masih dalam bincang yang sama, Rocky kemudian mencontohkan sepakbola pancasila yang pernah dijalankan orde baru sebagai analogi bagi demokrasi di luar nalar sehat. Rocky seakan lupa, atau pura-pura tidak tahu, orde baru adalah pemerintahan otoriter yang membungkus dirinya dengan pakaian jawara demokrasi. Orde baru memang bukan contoh pemerintahan demokratis. Bahkan dalam menafsirkan Pancasila pun, Orde Baru melakukannya secara otoriter.
Rocky sama sekali menutup peluang bahwa selain di Barat, di belahan dunia lain ada  demokrasi yang khas sesuai sosiokultur masyarakatnya. Eropa atau Amerika bukan satu-satunya kiblat demokrasi, meskipun di tempat lain "demokrasi" yang dijalankan masyarakatnya tidaklah bernama demokrasi. Banyak konsensus adat di Nusantara yang mengusung spirit "untuk rakyat".
Jika di belahan barat mengenal voting sebagai satu-satunya jalan konsensus, Indonesia mengenal musyawarah untuk mufakat sebagai salah satu bentuk demokrasi. Jika voting a la barat yang diagungkan Rocky selalu berbicara dalam konteks menang berarti menjadi pihak yang besar dan mengalahkan pihak lebih kecil, maka musyawarah untuk mufakat adalah mencari titik temu yang bisa memberikan setiap pihak "kemenangan".
Dalam demokrasi Rocky, kebebasan individu merupakan segala-galanya, demikian halnya kebebasan untuk berbuat apa pun agar menjadi pihak yang meraih kemenangan dengan kekuatannya. Rocky tampaknya tidak memahami falsafah Jawa, "menang tanpo ngasorake", bahwa kemenangan bisa dicapai tanpa menempatkan salah satu pihak dalam posisi inferior
Budaya mengalah, mendengarkan pihak lain, mencari titik temu untuk kemenangan bersama dapat ditemui di berbagai belahan Nusantara. Di suku Baduy misalnya, masyarakat Baduy sering menjalankan semacam konsensus adat dan sangat mematuhi kesepakatan komunal yang menjadi kebijakan lembaga adatnya. Selama ratusan tahun tidak pernah tercatat ada warga Baduy menolak keputusan bersama atau protes keras hingga menimbulkan konflik berdarah seperti di negara barat yang dipuja Rocky. Meskipun tidak sesuai dengan pandangan Rocky mengenai demokrasi, bentuk konsesus demikian tetap sebuah demokrasi karena berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Konsensus-konsensus adat dalam bentuk demokrasi yang berbeda dengan demokrasi barat bisa kita temukan pada suku-suku lain di Indonesia dari Sabang sampai Merauke dengan kekhasannya masing-masing, penuh kearifan dengan mendahulukan kebaikan dan kepentingan bersama. Bukan seperti demokrasi pandangan Rocky yang penuh adu jotos.
Dalam agama Islam bahkan dikenal "fastabiqul khoirot", berlomba-lomba dalam kebaikan (meskipun setiap pihak memiliki cara yang berbeda dalam melakukannya). Jika demokrasi ditarik dari pemahaman fastabiqul khoirot, maka agama memerintahkan berlomba-lomba untuk menunjukkan cara yang paling baik mencapai tujuan bersama dalam bingkai negara. Definisi demokrasi semacam itu lebih baik untuk diterima budaya kita, dibanding demokrasi sebagai ajang perlombaan untuk menghancurkan pihak lain.
Dalam tataran negara, reformasi Indonesia belumlah genap 20 tahun. Jika diibaratkan seorang manusia demokrasi Indonesia saat ini sedang berada pada usia remaja, yang masih mencari arah dan tujuan untuk menuju jatidirinya. Demikian halnya demokrasi di indonesia, masih mencari-cari jalan menuju demokrasi terbaik yang sesuai dengan kultur masyarakatnya. Jangan mau didikte agar negara ini menerapkan demokrasi a la Rocky.