Seorang sahabat menceritakan alasan dia enggan terlibat dengan kredit bank.
Suatu ketika dia mengambil pinjaman sekitar Rp. 300 juta. Setelah menginjak tahun ke 3 pokok pinjamannya ternyata hanya berkurang sekitar Rp. 15 juta, padahal dengan cicilan lebih dari Rp. 4 juta setiap bulannya, dia sudah membayar lebih dari Rp. 100 juta. Pihak bank beralasan pembayaran pinjaman di tahun-tahun pertama difokuskan untuk membayar bunga pinjaman, baru setelah itu pokok pinjamannya.
“Rentenir resmi berdasi”, tuturnya sambil tersenyum kecut.
Kasus yang dialami sahabat saya tadi adalah salah satu ironi. Selama ini bank digadang-gadang sebagai katalis utama pertumbuhan ekonomi dan memiliki peran strategis dalam memperkuat ekonomi negara. Tetapi dibanding membantu pengusaha yang bergerak di sektor riil, para bankir justru mencari keuntungan sendiri dengan mengalihkan resiko bisnisnya kepada pihak lain.
Ironi lainnya adalah, konsep bagi hasil yang diusung lembaga keuangan syariah, pada khususnya bank syariah, belum mampu mengambil peran lebih besar dalam ekonomi nasional. Karim Consulting Indonesia mencatat dari tahun 2009 hingga 2014 pangsa pasar lembaga keuangan syariah Indonesia memang meningkat hampir 2 kali lipat, tetapi itu hanya dari 2,61% menjadi 4,95%.
Setelah hampir seperempat abad tiang pancang pertama berlakunya sistem syariah di Indonesia berdiri, dengan beroperasinya Bank Muamalat Indonesia, nilai 4,95% tersebut tentunya masih jauh dari harapan terhadap peranan sistem keuangan syariah di Indonesia. Sekaligus memberi gambaran, bank-bank syariah Indonesia masih tidak berdaya menghadapi hegemoni bank konvensional. Padahal di saat yang sama negara-negara seperti Malaysia, Qatar, UAE, bahkan Inggris, tengah berlomba memacu perkembangan keuangan syariahnya. David Cameron misalnya, mengatakan: “Saya menginginkan London tidak hanya menjadi pusat keuangan Islam terbesar di barat, saya ingin London sejajar dengan Dubai dan Kuala Lumpur sebagai salah satu pusat keuangan Islam dunia”. Pernyataan terbuka Perdana Menteri Inggis di hadapan para pemimpin negara muslim pada World Islamic Economic Forum ke-9, 29-31 Oktober 2013 lalu tersebut bukan sebuah basa-basi politis, karena pada saat yang sama Inggris resmi meluncurkan obligasi syariah senilai £200 juta.
Pertanyaan yang kemudian hadir adalah: “apa yang keliru dengan kondisi keuangan syariah Indonesia?” Padahal dari sisi infrastruktur, bank-bank syariah sudah sama lengkapnya, sama bagusnya, sama modernnya, bahkan dari sisi tertentu memiliki nilai lebih dibandingkan bank konvensional.
Sebagai konsumen bank syariah, dibandingkan persoalan seperti: besaran modal yang dimiliki bank syariah, penulis melihat persoalan mendasar dalam praktik ekonomi syariah di Indonesia lebih kepada sumber daya manusia dan praktik pengelolaan bank syariah.
Diawali dari masih dianggap marjinalnya konsumen syariah oleh pihak perbankan, meski pun diramalkan ekonomi syariah akan terus tumbuh, pada kenyataannya masyarakat yang mau menggunakan jasa keuangan syariah tidaklah banyak. Motif masyarakat untuk memanfaatkan jasa keuangan bank tetap untuk mendapatkan pelayanan keuangan yang dianggap memenuhi kebutuhan dan memberi keuntungan ekonomi. Akibatnya, sebagian besar bank membuka unit syariah bukan untuk mendukung praktik bisnis berbasis syariah, melainkan semata-mata untuk memperoleh keuntungan.
Karena kecilnya “porsi kue” tadi, bank syariah yang mengikuti arus untuk menjadi “consumer driven bank”. Data statistik terbaru Perbankan Syariah yang dikeluarkan Bank Indonesia Juni 2015 menyebutkan di Indonesia ada 12 Bank Umum Syariah (BUS), 22 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 161 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), dengan jumlah 2.881 kantor tersebar di seluruh Indonesia. Yang menjadi catatan, sebagian besar kantor bank syariah tersebut berada di sekitar Jakarta dan Pulau Jawa, dibuktikan dengan lebih dari 40% total pembiayaan syariah atau sekitar 77 triliun rupiah terjadi di Jakarta, dan lebih dari 60%-nya tersdistribusi di Pulau Jawa.
Hal itu diperburuk dengan kondisi sebagian besar petinggi di Bank Umum Syariah dikelola oleh “mantan” pejabat bank konvensional yang melihat bank syariah sebagai peluang untuk meningkatkan karir. Akibatnya mentalitas, budaya kerja, dan pola bisnis sebagian bank syariah mengekor bank konvensional, yang menilai ukuran keberhasilan bank dengan angka-angka rupiah.