“Kenapa tidak ikut asuransi?” Tanya seorang kawan, saat saya terbaring di sebuah rumah sakit.
Sejujurnya, dulu agak susah menjawab pertanyaan itu. Barangkali saya mewakili potret masyarakat Indonesia pada umumnya, minim pengetahuan tentang asuransi adalah salah satu faktor utama yang menjadi alasan berat menggunakan jasa asuransi sebagai perlindungan.
Bagaimana tidak? Jangankan tahu asuransi, sebagian kita kenal asuransi pertama kali justru dari berita gosip kasus klaim polis artis. Si artis diwawancarai saat dia menyatakan kekecewaannya, karena pihak asuransi melanggar janji dan tidak memenuhi kewajibannya membayar klaim.
Bisa kita bayangkan ketika fans artis tersebut yang tidak memiliki pengetahuan mengenai asuransi, menonton berita dan merasa artis idolanya dianiaya perusahaan asuransi.
“BOOOOOM” dari situ kampanye negatif asuransi bergulir.
Apalagi berita gosip tersebut tidak menyorot dari dua sisi, hanya dari sudut sang artis yang sedang emosional baru mendapat musibah, tanpa ricek ke pihak asuransi. Padahal bisa aja kan karena si artis yang nggak pernah bayar premi atau melanggar hukum? Belum di saat yang sama ditambahi cerita teman yang konon dikecewakan pelayanan asuransi rumah sakit. Makin lengkap lah derita asuransi.
Alasan berikutnya bagi sebagian (sangat besar) masyarakat kita, asuransi adalah beban. Bayangkan, setiap bulan mesti mengeluarkan uang yang entah akan terpakai kapan. Sementara itu, bombardir iklan gawai nan canggih membuat kita membandingkannya dengan telepon di tangan yang terasa tidak terlalu cerdas lagi.
“Ah,...mending uangnya dikumpulkan buat beli smartphone baru, daripada buat bayar asuransi”. Kira-kira begitulah pemikiran yang terlintas, padahal kalau dipikir-pikir gawai yang kita pakai belum 2 tahun dan masih cukup bagus. Gawai baru pun nggak signifikan tambahan fitur dan kecanggihannya.
Masalah lainnya adalah asuransi itu nisbi. Berbeda dengan telepon genggam model terbaru atau sebut saja pulsa internet, walau pun kadang juga dipakai buat hal yang nggak penting-penting amat, tapi terasa ada dan dipakai. Sementara asuransi nggak kelihatan wujudnya, hanya termanfaatkan pada kondisi-kondisi khusus bersyarat, bahkan kadang tidak termanfaatkan. Udah bayar, nggak terpakai,... sakitnya tuh di kantong. Sya la la la la la la.
Ada lagi satu pengalaman. Suatu sore ada telepon yang ditunggu, tiba-tiba telepon berdering, di layar tampak nomor dari Jakarta, tidak tercantum di buku telepon. Ini dia telepon yang ditunggu. Begitu diangkat, terdengar suara merdu seorang yang (dari suaranya) cantik jelita. Setengah menit bicara, ternyata si cantik tadi menawarkan asuransi.
Karena nggak enak mau nutupnya, gak apa-apa deh dengerin dulu sebentar. Tapi sebentar itu ternyata 25 menit. Ujung-ujungnya biarpun ditolak, tetap gigih menawarkan asuransi sampai nambah waktu bicara 20 menit. Terpaksa,... Klik! Tutup telepon.