"Mbak, jadi ke rumah Nenek?" tanya ibu dengan nada ragu.
"Iya, Ma, jadi. Ini habis beli kue kesukaan nenek hehe," jawab saya santai untuk menunjukkan pada ibu bahwa semuanya akan baik-baik saja.Â
Kalau dipikir-pikir, ibu memang berhak untuk ragu dengan keputusan saya. Selama 10 tahun saya tak pernah bertegur sapa dengan nenek meskipun sempat satu rumah. Kehadirannya selalu membuat saya terganggu. Semua pertanyaan basa-basi yang diajakuannya pun tak pernah sekalipun saya jawab. Jangankan ditanya, melihatnya saja saya enggan.Â
Semua bermula di hari itu. Saat nenek mengusir ibu dari rumah. Tanpa memberi tahu apa kesalahan ibu. Ah, padahal meskipun ibu ada salah tetap saja ibu adalah anak nenek. Mana ada ibu yang tega mengusir anaknya? Sejak saat itulah gumpalan hitam pada hati saya mulai di tanam. Hingga semakin lama, gumpalan itu semakin besar dan menciptakan sarang.Â
Ibu selalu salah di mata nenek. Semenjak ayah meninggal, nenek menyuruh ibu menikah dengan lelaki yang ia pilihkan. Yang jelas lelaki itu pasti kaya. Karena memang hanya itu yang nenek pikirkan. Tidak peduli ibu suka atau tidak. Ibu yang selalu setia pada ayah menolak semua lelaki itu. Waktu itu usia saya 18 tahun. Terlampau belum paham bagaimana harus mengahdapi dunia.Â
"Buat apa kamu punya wajah cantik kalau kamu tidak memanfaatkkanya untuk mendapatkan uang? Kamu mau hidup seperti ini terus? Kamu tidak mau membalas budi kepada ibumu ini, hah?!" kata-kata nenek yang masih terngiang-ngiang di kepalaku. Seringkali saya heran, bagaimana ibu bisa sesabar itu menghadapi nenek?
Tak jarang ibu menerima tamparan dan pukulan dari nenek. Semenjak saat itu kebencian saya terhadap nenek semakin menjadi. "Meskipun begitu, itukan ibunya ibu," ujar ibu suatu ketika saat saya menyarankan untuk pergi dari rumah itu. Saya sangat marah melihat ibu diperlakukan semena-mena.Â
Saya mengurangi kecepatan dan melihat deretan rumah yang saya lewati. Seperti dapat melihat suasana saat saya masih tinggal di sana. Bapak penjual sayur yang selalu berhenti di depan rumah Bu Maidah, Pak Surya yang selalu menyiram tanaman dipekarang rumahnya sore hari, dan beberapa bocah berlarian bermain bersama.Â
Mobil berhenti tepat di depan rumah berpagar coklat. Rumah ini tak berubah sedikitpun. Saya hanya berharap, tidak demikian dengan manusia di dalamnya. Saya turun dan disambut oleh Bibi Ara.
"Yaampun Mbak Rasya!" serunya girang meihat saya.Â
"Pagi,Bi," jawab saya menyapanya dengan senyum.Â