Mohon tunggu...
Dealicious
Dealicious Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Maulidia, tapi lebih familiar ketika saya dipanggil Dea. Hobi saya membaca, menulis dan melakukan hal-hal baru. Saya tidak tahu harus mulai dari mana, tapi semoga Kompasiana membantu talent yg saya miliki.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibuku dan Setumpuk Puisi Miliknya

1 April 2024   17:00 Diperbarui: 2 April 2024   19:52 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pexels.com/id-id/foto/ditulis-tangan-buku-catatan-penulisan-cahaya-lilin-6037572/

Seorang gadis manis berumur sekitar dua puluh tahun, berjongkok didepan rumahnya sembari memperhatikan rintik-rintik air hujan yang turun dari celah atas genting. Dia tidak peduli bahwa hal itu membuat setengah tubuhnya basah, padahal dia sampai meringkuk kedinginan. Dan benar saja bahwa dia penyuka hujan. Pluviophile!

“Masuk, nanti sakit loh nduk” suara lirih dari dalam rumah itu tak lain adalah Ibunya. Enji pun masuk kedalam rumah, dia melihat Ibunya sedang meletakkan ember berukuran besar untuk menampung air yang bocor dari atap rumahnya. Dia juga melihat sang Ayah sedang merakit kipas anginnya yang sudah rusak. “Mungkin jika aku kaya atap rumahku tidak akan bocor dan ayah akan membeli kipas angin yang baru tanpa merakit yang sudah rusak, hidup miskin adalah luka terperih.“

  Esok harinya pukul sepuluh malam, Ayahnya melihat Enji sedang duduk di kursi plastik yang ada didepan rumah. Dia melihat anaknya yang manis ini sedang menatap bulan, dia merasa bahwa akhir-akhir ini Enji selalu tidur larut malam. Dia menghampirinya dan duduk disamping Enji, namun Enji tetap tak memalingkan pandangannya pada bulan di atas langit sana. “Ayah, jadi dewasa ternyata benar-benar pertaruhan” kata Enji tiba-tiba membuka suara. Ayahnya bingung, kenapa anak ini tiba-tiba berkata seperti itu. Enji melanjutkan pembicaraannya, “Aku tidak akan lagi memikirkan bagaimana cara menang bermain monopoli, aku tidak akan lagi memikirkan bagaimana aku akan mendapatkan biji paling banyak saat bermain congklak, atau mungkin aku tidak akan lagi memikirkan permainan apa yang harus kita mainkan besok bersama teman-teman? Menginjak dewasa tentang bagaimana tidak lagi menyusahkan orang tua, bagaimana menjadi manusia yang semakin tahu batasannya, dan bagaimana peran diri sendiri untuk hal-hal kedepannya”. Kali ini Enji memandang Ayahnya dengan senyum manis menciptakan lesung pipi. “Enji yang kemarin masih suka main hujan-hujanan, sekarang sudah bisa berkata-kata seperti ini. Kamu sudah semakin dewasa, Enji” ujar Ayahnya mengelus lembut rambut Enji. “Nyatanya memang begitu” jawab Enji. “Enji, apa yang kamu pikirkan akhir-akhir ini? Ayah perhatikan, Enji sekarang sering tidur larut malam. Kamu baik-baik saja?“

“Enji tidak apa-apa, hanya ada yang harus dikerjakan setiap malam. Enji sedang menulis buku. Enji suka sekali dengan puisi-puisi Meilia Sina” jelasnya.

“Oh iya? Sejak kapan kamu menulis?” seperti berbinar-binar, ayahnya memasang ekspresi terkejut. “Sejak dulu, hanya saja dulu tidak pernah kepikiran untuk mempublikasi tulisan Enji” ayahnya semakin menatap serius pada Enji, dia mengangguk-angguk. 

“Menurutmu itu keturunan atau memang bakatmu?“ tanya ayah Enji lagi.

“Hm?“ Enji dengan ekspresi bingung dan menyipitkan mata

“Sudah-sudah, lekas tidur” ayahnya pergi masuk ke dalam rumah, sedangkan Enji masih dengan tatapannya pada bulan. “Apa maksudnya?“ Gumamnya dalam hati.

 Suatu pagi di hari Minggu, ibunya di larikan ke rumah sakit, karena diabetes nya kambuh. Lagi-lagi gadis itu ingin mengumpat sekeras mungkin. “Biaya dari mana lagi ya Tuhan..“. Alhasil Enji nekat menggadaikan cincin dan anting-anting yg dipakainya.

Entah rasanya harus menangis atau bagaimana, yang pasti bibir Enji terasa sangat kelu, hatinya merasa teriris, dan pikirannya tidak fokus. Enji bergegas pulang ke rumah mengambil surat-surat yang dibutuhkan untuk administrasi ibunya. Sesampai dirumah, sebuah gulungan surat kecil dengan pita coklat berada didepan pintu. Disana tertulis beberapa kata dengan tinta biru.

“Enji yang manis, penulisan puisi mu terlalu datar. Segeralah memperbaiki itu atau puisi mu akan ditolak oleh media”

Siapa?

Tulisannya bukan milik ibu, bukan juga tulisan ayahnya. Lalu?

Dan mengapa dia tahu bahwa Enji sedang berniat mempublikasikan tulisannya.

Ada yang aneh.

Enji mengabaikan itu sementara, karena harus mengurus surat-surat untuk perawatan rumah sakit.

2 Hari Berlalu

Ibu Enji telah dipulangkan dari rumah sakit, meski demikian, biaya perawatannya mencapai sekitar 2 juta. Selang beberapa jam disana, Enji memberanikan diri untuk bertanya siapakah gerangan pengirim segulung surat kecil itu. “Ibu, Enji menemukan ini” katanya sembari memberikan gulungan surat kecil itu.

“Tapi Enji tidak tahu siapa pengirimnya” lanjut Enji

“Mungkin ayahmu?“ Jawab ibunya dengan suara rendah

“Pasti tidak mungkin, ibu seharusnya juga tahu bahwa tulisan ayah tidak se-rapi itu”

Ibunya terdiam menatap benda itu, terus ditatapnya hingga dia menyerah menjawab siapakah pengirim suratnya. “Entahlah, mungkin malaikat” celetuk Enji sambil beranjak dari kasur. Dia keluar untuk melihat hujan lagi. Gadis pluviophile, dia sudah menjadikan hujan sebagai teman penampung cerita hidupnya, apa yang menjadi beban dan keluh kesahnya, dia selalu berbagi itu kepada hujan.

“Hujan, siapakah pengirim surat itu, dan apa yang harus aku lakukan untuk memperbaiki puisi ku? Kemampuan ku sudah cukup disana. Lalu apa jalan selanjutnya?“

Dia berbicara sendiri, seakan hujan akan menggubris apa yg dia katakan. Kepalanya mendongak keatas, persis seperti anak kecil ketika melihat pesawat terbang yang baru saja lewat. “Enji, hujannya semakin deras, masuk. Ibu tidak ingin selanjutnya yang sakit adalah kamu” Ibunya berbicara dibalik jendela. 

“Sudahlah nak, mungkin pengirim surat itu adalah temanmu yang sedang iseng” kata ayahnya yang sedang duduk di ruang tamu. “Ayah lupa kalau Enji tidak memiliki teman” Jawab Enji dengan nada rendah dan raut muka yang berubah. Dia masuk ke dalam kamarnya dan mengambil tulisan-tulisan tangannya disana. 

 Keesokan harinya ketika Enji sedang menyapu halaman rumah, segulung surat kecil terdampar disana. Dia mendapati surat baru lagi!

“Baiklah Enji, untuk memperbaiki tulisan-tulisan mu, banyaklah membaca, dan terus membaca. Perbanyak referensi mu dari membaca, maka kamu akan memiliki tulisan yang indah dan hidup” 

Tidak mungkin.

Ini jelas aneh.

Enji sangat kesal, kali ini dia benar-benar merasa dihantui oleh si pengirim surat. Enji masuk kedalam kamar, tiba-tiba mendapatkan ibunya yang sudah tergeletak dibawah dengan sedikit muntahan darah. Enji segera bergegas meminta bantuan para tetangganya, dan menelfon ayahnya yang sedang bekerja. 

Ibu Enji dinyatakan kritis dan sedang dalam penanganan. Mbak Tere tetangga Enji, anaknya Mbak Tere, ayahnya Enji, sudah berada didepan ruangan menunggu jawaban ketika dokter telah keluar. Enji kalut, gadis itu menahan tangis, ayahnya merangkul Enji, mukanya tampak sekali bahwa dia sangat kelelahan. Ayahnya juga tak kalah hebat keterlibatannya dalam hidup Enji.

Beberapa jam setelah penanganan, dokter pun keluar.

Dengan raut muka kecewa dia berbisik pada Enji “Maafkan saya, saya gagal. Saya tidak bisa menyelamatkan ibu”. Tangis Enji pecah tak bersuara, tubuhnya langsung tersungkur. Ayahnya hanya bisa menangis dengan memeluk anak gadisnya itu. Mbak Tere tak kuasa menahan air matanya yang sedari tadi ia tahan. Ibu pun akhirnya segera dikebumikan tidak jauh dari rumah keluarga Enji.

 Sekarang hanya tinggal berdua, tentunya ia tidak akan pernah mau memilih keadaan ini. Namun karena Enji anak yang baik dan kuat, dia tidak mengurungkan niat untuk melanjutkan untuk berusaha mempublikasikan karya-karyanya. Dia sedang membenahi kamar ibu dan merapikan barang-barang yang sudah tidak dipakai.

 Ditengah-tengah membereskan baju-bajunya, Enji menemukan buku yg sudah sangat lama, itu buku tulis besar dan setebal buku Harry Potter. Enji membuka dan alangkah terkejutnya ketika ia melihat sesuatu yg sangat familiar. Enji bergegas mengambil surat misterius dan mencocokkan tulisan di surat dan tulisan yang ada buku tebal milik ibunya. Tidak salah lagi, ini memang tulisan yang ada di surat misterius itu. Enji pun melanjutkan membaca isi yang ada pada buku, isinya puisi-puisi indah yang nan realistis. Ketika sampai pada baris baris terakhir, Enji lebih dikejutkan lagi dengan tertanda dibawah puisi itu. Tertanda Meilia Sina.

Ia membuka-buka halaman selanjutnya, halaman selanjutnya dan selanjutnya hingga akhir. Bahkan di lembaran terakhir disana masih tertanda nama Meilia Sina.

Apa maksudnya?

“Aya—”

Belum sempat memanggil, ayahnya sudah melihat Enji sedari tadi.

“Sepertinya ayah tidak perlu menjelaskan lagi, iya Enji. Apa yang kamu lihat benar, Meilia Sina itu ibumu. Ibumu memang sudah tidak ada, tapi karya-karyanya akan terus hidup”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun