Indonesia, sebuah Negara di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk lebih dari dua ratus juta jiwa. Wilayah yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dari titik nol kilometer di wilayah Aceh sampai ke titik kilometer akhir di wilayah Irian. Negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari lautan, menyimpan timbunan harta karun berupa kekayaan alam di dalamnya. Dan dibalik kekayaan alam itu, banyak hal yang absurd muncul dari hari ke hari. Entah siapa yang salah, system yang salahkah? Alam? Pemerintah? Masa lalu? leluhur? Atau memang sudah seharusnya semua seperti itu?
***
Memasuki milenium baru, Indonesia siap tidak siap harus ikut serta dalam persaingan global yang di dalamnya melibatkan pula negara-negara maju. Sebagai negara dengan predikat negara berkembang, tentulah sulit dikatakan sebagai lawan yang sepadan sepertinya untuk bersaing dengan Negara-negara maju seperti Amerika atau Jepang. Tetapi niat dan usaha untuk ikut bersaing itu jauh lebih baik dibanding menjadi negara minder yang berikap pasif terhadap keadaan. Ibarat dalam pertandingan sepak bola yang sempat hangat menjadi buah bibir di seantero negeri, kekalahan melawan malaysia di final piala AFF menjadi salah satu penyebab digantinya Alfred Riedl dari kursi pelatih meskipun banyak orang mendukung Riedl untuk tetap menduduki kursi pelatih.
Kemudian muncul pelatih baru, yang dibilang memiliki kualitas atau kemampuan tidak kalah dari Riedl. Tetapi pergantian pelatih masih belum mampu membawa Indonesia ke puncak kejayaan, banyak orang semakin kecewa dengan performa Timnas terutama kekecewaan dengan konsep pelatih baru tersebut sehingga muncul jargon bahwa ‘meskipun Riedl belum mampu membawa Timnas ke puncak klasemen, tapi setidaknya kami ingin melihat pemain tetap berlari di lapangan!’.
Jadi, kaitan antara persaingan Indonesia dalam mengikuti ajang pasar global dengan pertandingan bola adalah bahwa meskipun Indonesia belum memiliki kapasitas yang sepadan sebagai negara-negara maju di persaingan global tapi setidaknya Indonesia mau berlari di ajang persaingan pasar global. Tetapi absurd-isme muncul, kentara terlihat setidaknya antara kebijakan pemerintah dan beberapa pengusaha dalam negeri. Ketika salah satu mantan petinggi negeri ini sekuat tenaga menggalakkan himbauan agar masyarakat berwira usaha dengan meningkatkan produksi dalam negeri, mencintai produk dalam negeri, pemerintah justru malah melakukan kebijakan yang kontradiktif dengan himbauan itu. Perusahaan-perusahaan asing semakin mudah tertanam di Indonesia, penanaman modal asing, begitu pula dengan barang-barang import yang tentu saja memiliki predikat high class dibanding branded dalam negeri.
Pasar dalam negeri yang mulai menggeliat pun bisa dengan mudah terlindas produk import, yang meskipun harganya selangit masih tetap akan menjadi buruan kelompok-kelompok tertentu demi sekedar mengejar gengsi.
Absurd-isme yang muncul kentara adalah di dunia pendidikan. Wilayah ibukota dengan segala ketersediaannya memudahkan para peserta didik mencapai nilai tinggi. Tempat les, peralatan elektronik yang semakin canggih, laboratorium untuk mempermudah penelitian, transportasi mulai dari roda dua, tiga dan empat, dan masih banyak lagi. Sehingga nilai tinggi yang dijadikan sebagai tolak ukur kelulusan pun setidaknya bisa mereka capai lebih mudah (seharusnya) karena adanya fasilitas yang mendukung. Sedangkan di wilayah yang nun jauh dari ibukota, jangankan fasilitas-fasilitas itu, belajar sehari-hari pun masih diliputi rasa was-was kalau-kalau atap kelas akan ambruk ketika hujan turun atau angin kencang sekalipun.
System nilai boleh dibilang belum begitu tepat sepertinya untuk diterapkan di Negara ini apabila melihat belum meratanya fasilitas pendukung, baik segi materi seperti itu maupun dari segi pendidiknya sendiri. Namun, bukankah Tuhan mengatakan bahwa ”Dia tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu yang merubahnya”. Artinya, bukan hal yang tidak mungkin wilayah yang nun jauh dari ibukota dengan segara keterbatasan fasilitas itu, satu hari akan melahirkan peserta didik yang memiliki kualitas jempolan.
***
Hal lain yang kentara sempat terasa absurd adalah ketika pemerintah di ibukota mencanangkan ajakan kepada warganya agar lebih memilih untuk menggunakan kendaraan umum dibanding kendaraan pribadi, alasannya agar mengurangi kemacetan khususnya di wilayah ibukota. Banyak program pun kemudian lahir dari era ke era, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi. Harga bahan bakar dinaikkan dan untuk bahan bakar tertentu hanya diperuntukkan bagi kendaraan umum, sehingga kendaraan pribadi dihimbau menggunakan bahan bakar jenis lain yang lebih mahal. Selain itu, dicanangkanlah pembangunan proyek busway, monorail dan perbaikan system kereta rel listrik (KRL). Kedua alat transportasi berkapasitas besar itu tentu saja tidak bisa menjangkau seluruh wilayah, maka angutan kota, bus kota, ojek atau becak mutlak seharusnya memang masih tetap dibutuhkan.
Akhirnya warga pun mulai beralih untuk menggunakan kendaraan umum yang bisa dikatakan memiliki predikat bersistem modern yang mendukung untuk membentuk Jakarta sebagai kota metropolitan, tetapi di lain pihak, maraknya kasus kriminal di dalam transportasi umum membuat masyarakat semakin resah. Ada yang salah dengan system kah? Dengan kebijakannya kah? Atau memang tingkat kriminalitas memang akan meningkat seiring menurunnya kemampuan ekonomi?
Sayangnya razia yang dilakukan terlihat seperti ogah-ogahan serius, ketika ada perkara saja baru ada tindakan. Tidak ada jaminan pasti mengenai keamanan berkendaraan umum jadinya, untuk mereka yang memiliki kendaraan pribadi dan mampu, bisa dengan mudah kembali ke kendaraan pribadi, sedangkan untuk kami yang tidak mampu? Tidak ada pilihan lain. Absurd memang, dimana pemerintah menghimbau untuk berkendaraan umum untuk menghindari macet dan polusi disitu pula pemerintah atau sebut saja pemerintah dan aparat(ur) negera belum mampu memberikan kenyamanan dari segi keamanan.
Merubah predikat Indonesia menjadi Negara modern, banyak image real yang dirubah. Pembangunan mall-mall, pendirian apartemen-apartemen mewah, pembangunan kawasan perumahan elite, pembangunan proyek transportasi yang lebih modern sehingga banyak kaum dengan kelas ekonomi kurang memadai semakin terpinggirkan. Sebuah foto absurd muncul karena di sebelah mall atau apartemen mewah terdapat himpitan rumah-rumah kumuh di pinggir sungai. Rumah berukuran super mini yang mungkin hampir tidak menyerupai rumah sebetulnya, dihuni secara berdesak-desakan. Tempat tinggal yang rawan banjir, rawan tergerus arus sungai, rawan penyakit dan rawan kebakaran juga banyak tingkat kerawanan lainnya merupakan tempat berteduh secara turun temurun.
Absurd memang, dengan pembangunan untuk menciptakan image metropolitan, banyak kaum / kelompok atau golongan yang terpinggirkan begitu saja. Kenapa tidak membiarkan Indonesia atau Jakarta khususnya tetap menjadi Jakartanya Indonesia, dengan becaknya dengan bajainya dengan segala ciri khas lainnya seperti tulisan di kaki burung garuda? Bhineka tunggal ika, memunculkan Indonesia di mata dunia dengan segala ke-indonesia-annya, tanpa perlu merubah Jakartanya Indonesia menjadi Tokyonya Jepang, menjadi Kuala Lumpurnya Malaysia. Tapi mungkin memang sudah seharusnya begitu.
Munculnya jejaring sosial mampu menjadi salah satu alat yang membuktikan kalau Indonesia masih memiliki jiwa solidaritas yang baik. Ketika ada masalah maka muncul suara-suara untuk mendukung agar masalah bisa cepat tuntas dan pihak yang dirasa merupakan pihak yang terzalimi pun bisa memenangkan perkara. Selain itu, komnas-komnas mulai lahir di Indonesia berdiri dengan kantor-kantor perwakilannya dan aktivis-aktivisnya. Memperjuangkan hak azasi manusia, hak anak dan perempuan untuk mendapat perlindungan dan hak untuk hidup. Namun, kasus yang muncul di wilayah Mesuji menjadi hal yang kontradiktif sekali. Dimana sekelompok orang memperjuangan soal hak azasi manusia, salah satu diantara hak azasi yang paling azasi adalah hak untuk hidup, tetapi di lain pihak sekelompok orang seolah-olah membuat nyawa orang itu tidak ada harganya.
***
Indonesia masih kaya dengan hutannya, kaya dengan flora dan fauna yang apabila mendapatkan perhatian benar-benar serius, masih bisa menjadi warisan berharga bagi anak cucu satu hari nanti.
Save orang utan!
Munculnya pemberitaan mengenai pembantaian orang utan secara biadab, menimbulkan kecaman keras dari para pemerhati hewan. Kemudian kasus pun bergulir dan mulai diusut, dimana-mana di jalan-jalan banyak selebaran yang dibagi-bagikan untuk mendukung gerakan save orang utan. Tetapi seiring kasus bergulir, ada hal yang kontras terasa dari solidaritas untuk save orang utan ini karena ketika jumlah orang utan berkurang di lain pihak jumlah orang miskin bertambah. Dikatakan hal yang dilematis? Tidak juga karena tidak perlu ada yang dikorbankan (semestinya). Tapi ketika mengacu pada pertanyaan, mana yang harus didahulukan? Menjadi situasi yang dilematis.
Masih banyak lagi hal-hal absurd yang muncul dari hari ke hari, tidak akan cukup waktu untuk membahasnya apabila tidak dijeda di tengah jalan. Hal-hal yang sifatnya saling kontradiktif, saling bertolak belakang satu sama lain.
Mengutip dari puisi karangan Rosihan Anwar dalam Petite Histoire Indonesia bahwa ‘Aku tidak malu jadi orang indonesia’. Apapun yang terjadi!
Dan semua itu terangkum dalam absurd-isme Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H