Sebagai seorang pengelola rumah makan, setiap hari saya terbiasa dengan akrobatiknya harga-harga di pasar. dari mulai koprol ulang-alik-nya harga cabe, hingga langkanya beberapa komoditi. Menurut Yu Minah penjual cabe langganan saya di Pasar Angso Duo di Jambi, “yang nyetokcabe ke pasar nih suka sembarangan kasih harga…da” yah.. Yu Minah selalu memanggil saya Uda walaupun saya orang Betawi yang kesasar di Jambi.
Dari pengalaman saya bergumul dengan pergerakan turun, naik dan naiknya harga (yah, harga di pasar selalu turunnya sekali, tapi naiknya berkali-kali) saya dapat menyimpulkan bahwa harga di pasar itu di tentukan oleh permintaan dan pak tengkulak. “yah namanya juga ekonomi pasar, yah kaya gitu itu, kita mah cuma bisa nerima harga yang dibandrol” celetuk kawan saya setiap saya curhat.
Lain di pasar lain pula di Istana, dari gedung yang menjadi kantor presiden SBY, akhir-akhir ini banyak keluar keputusan yang menurut saya mengadopsi logika pergerakan harga-harga seperti yang saya ceritakan tadi, atau setidaknya mirip. Bukti yang paling mutakhir tentu soal di copotnya Hendarman sebagai Jaksa Agung hari ini.
Bagaimana tidak, setelah dua hari sebelumnya, punggawa-punggawa hukum presiden mati-matian tidak mau menerima keputusan Mahkamah Konstitusi yang telah memutuskan habisnya masa jabatan Hendarman sebagai Jaksa Agung, namun setelah hampir seluruh media mencecar habis-habisan sikap istana terhadap keputusan MK teresbut, akhirnya SBY menerima dengan memutuskan memberhentikan Hendarman dan di gantikan sementara oleh wakilnya, “itu berarti SBY aspiratif, menyerap aspirasi masyarakat bo, jangan negative dulu dong” lagi-lagi kawan saya nyeletuk menanggapi keheranan saya.
Aspiratif?Bagi saya ko definisi ini kurang tepat, mungkin kalo mirip aspiratif saya setuju. Bagaimana tidak, lah wong soal aliran dana kasus Gayus yang belum menyentuh para penggede, baik gede duit maupun gede jabatannya saja pak Beye diam saja, bahkan staff hukumnya pun belum mengeluarkan terobosan apa-apa untuk membongkar anomali ini, padahal saya yakin, pemberantasan korupsi, apalagi yang dapat membongkar penggede-penggede yang menilep uang rakyat, pasti akan memenuhi kedahagaan banyak warga Indonesia atas pemerintahan yang tegas dan bersih.
Seorang kawan tampaknya menanggapi kegundahan saya, dalam sebuah obropi (obrolan sambil ngopi) dia berkata “presiden kita ini kaya Raam Punjabi, karyanya ditentukan oleh rating, kalo rame bikin, kalo sepi yah urus yang rame aja” saya mengangguk tanda setuju, “liat aja, yang sekarang diperhatiin itu hasil survey populeritas, bukan memperthatikan indikator berhasil atau tidaknya program pemerintah” lagi-lagi saya mengangguk, “makanya sekarang para pemilik media yang cuma beberapa gelintir jadi orang yang sangat vital di negeri ini, mereka bisa menentukan keputusan presiden” kali ini saya tidak mengangguk (bukan tidak setuju, tapi takut dianggap bloon karena bisanya cuma ngangguk)
Mengerikan! Hal itu yang terbayang di otak saya mendengar ulasan kawan saya tadi. Bagaimana tidak, coba bayangkan, andaikan saja saya ini pemilik MNC yang menguasai beberapa media besar di Indonesia, lalu saya beraliansi dengan pak Bakrie, pak Surya Paloh, dan pak Chairil Tanjung, cukup empat orang saja, saya bisa mendikte kebijakan pak Beye, atau setidaknya meminta konsensi tertentu dengan imbalan beberapa slot pencitraan positif pemerintah di sela-sela tayangan. Hmmm… mengerikan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H