Mohon tunggu...
De Ahmad
De Ahmad Mohon Tunggu... -

Mendokumentasikan pikiran sehari-hari, siapa tau cuma ini peninggalan buat anak cucu nanti

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Layu Setelah Mengembang

30 September 2010   04:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:51 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya bukan orang yang memahami bunga, apalagi tentang pesan yang mungkin terkandung dalam bentuk, warna, aroma ataupun sebuah rangkaian bunga. Bahkan, untuk urusan pasangan pun, saya tidak pernah melibatkan bunga untuk meromantisir suasana.

Kalau pun ada persentuhan dengan bunga, yang sempat ada dalam hidup saya, hanyalah bunga Jambu air yang tumbuh disamping rumah, berbentuk bulatan kecil, dan sangat ampuh digunakan sebagai peluru dalam perang-perangan masa kecil dulu. Itupun bila bunga memiliki definisi yang sama dengan kembang, atau bahkan tidak ada perbedaan definisi kembang dan bunga, entah, intinya saya memang tidak paham soal bunga.

Namun, pengalaman tadi siang, ketika saya melintasi sebuah rumah, yang nampaknya rumah seseorang yang baru saja memenangi pemilukada, tiba-tiba saja memunculkan pertanyaan tidak penting di otak saya. Yaa….tidak penting, karena sesungguhnya ketika itu saya sedang dilanda kecemasan, jarum penunjuk bensin motor saya sudah melewati garis merah, sehingga saya terus celingak-celinguk mencari penjual bensin di sepanjang jalan.

Ketika melintasi rumah itu, saya melihat tidak hanya dihalaman, bahkan hingga di trotoar sekitar rumah, dipenuhi karangan bunga ucapan selamat dengan berbagai bentuk, oval,bulat, kotak, hingga seukuran papan tulis SD pun ada berjajar rapi, begitu pun pilihan warna dan pesan yang tertulis, meriah.

Sambil terus celingak-celinguk mencari penjual bensin, beberapa pertanyaan terus melintas di otak saya. Sebenaranya, melintasnya pertanyaan-pertanyaan di otak saya ini, dipicu pertanyaan pertama yang spontan muncul saat melintas rumah tadi “Kenapa yah, orang harus mewakilkan perasaannya dengan bunga?”

Berawal dari pertanyaan itulah, pertanyaan-pertanyaan lainnya saling sambung menyambung, melintas di otak, seperti pertanyaan ini “Siapa yah yang mulai cara ini?” atau bahkan yang ini “Kenapa yah, ga pake photo diri aja, dengan ekspresi yang paling tepat menggambar perasaan, cengengesan misalnya, untuk menggambarkan kita ikut bahagia?”

Sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di desa, nalar saya sudah kadung nyaman dengan cara masyarakat desa mengekspresikan perasaannya. Ketika selamatan atas suatu anugrah misalnya, cukup di ekspresikan dengan mengundang makan para tetangga dan tetangga datang memberi selamat dengan do’a yang ikhlas, cara ini mudah saya tangkap pesannya. “Ayo kita nikmati rizki ini bersama” dan “Ayo kita do’kan, karena ini adalah anugerah kita juga!”.

Bahkan untuk urusan pacaran, mengekspresikan perasaan dengan mengajak do’i ke warung bakso di perempatan, dan menyantap bakso berdua sambil lirik-lirikan, sudah membuat senyum-senyum semalaman didalam kamar. Dan lagi-lagi pesannya lebih mudah saya tangkap dengan cara ini, “Ayo makan, karena makan syarat hidup, biar bisa terus saling mencintai (ndak mungkinkan orang mati masih pacaran)”

Kembali ke soal bunga, hingga akhirnya saya menemukan penjual bensin, dan melanjutkan perjalanan hingga tiba dirumah, masih belum saya temukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang bunga tadi yang masih terus melayang-layang di otak.

Begitu juga dengan jawaban kawan saya, yang terpaksa terlibat dalam teka-teki soal bunga ini setelah mendengar curhat saya, malah membuat saya jadi merasa bersalah, karena niat yang sudah dia disusun jauh-jauh hari, untuk memberikan bunga, sebagai ganti tas baru yang menjadi pesanan sang istri untuk kado ultah pun ikut dipertimbangkan lagi “Bro…. untung lu ungkapin ini sekarang, coba kalo terlambat, apa yang gw jawab bila si eneng nanya maksud gw ngasih bunga, kayanya gw memang tetep harus nyari hutangan dulu biar bisa beli tas”

Merasa tidak penting-penting banget untuk terus dipikirkan, plus dengan banyaknya hal lain yang harus dipikirkan, pertanyaan-pertanyaan tentang bunga yang sempat melanglang buana di otak saya perlahan hilang, tergeser oleh tumpukan tagihan bulanan, permintaan-permintaan ajaib istri yang sedang ngidam dan banyak hal rutin lainnya.

Hingga disuatu pagi, beberapa hari setelah kejadian itu, disaat saya sebenarnya sedang males-malesan, tapi terpaksa lari pagi, karena istri terus komplain melihat lemak di badan saya bertambah terus volumenya. Pandangan didepan membangunkan memori saya. Sebuah truk sampah sedang memasukan sampah dari titik pembuangan di pinggir jalan. Truk dan sampah beserta isinya sih biasa saja, bahkan baunya membuat saya menahan nafas beberapa meter sebelum melintas,tapi benda yang teronggok didalam truk itu.

Sebuah karangan bunga, bahkan mungkin ada beberapa juga rekannya (entah, karena sudah berbaur dengan lainnya), teronggok tak berdaya didalam truk, compang-camping, tak beraturan dan layu, tidak seperti karangan bunga yang saya lihat beberapa hari lalu, yang segar, meriah, necis dan mungkin juga wangi.

Sambil tetap lari saya tersenyum, menyerap inspirasi segar atas jawaban teka-teki yang sempat mengendap tak terjawab, namun saya yakin, jawaban saya atas teka-teki itu pasti berbeda dengan pesan yang dimaksud oleh orang-orang yang mengirimkan karangan bunga buat pejabat yang berpesta kemaren, karena, tampaknya tidak mungkin sang pengirim karangan bunga akan berpesan “Pak, selamat atas kemenangan anda, ini saya kirimkan bunga, sebagai pengingat, tidak selamanya kita mekar dan mengundang orang untuk berkerumun dan memuji, ada saatnya kita layu dan tak dipedulikan lagi”

Saya menghentikan lari sejenak, tiba-tiba teringat kawan saya, yang mungkin sedang sibuk cari hutangan untuk beli tas, kado ultah istrinya. Segera saya kirim sms ke dia “Bro, jangan maksa, kasih bini lu bunga aja, dan bilang, Neng nih abang kasih bunga, yang mungkin besok udah layu, sebagai tanda, bahwa walaupun nanti Neng melebar dan keriput, tak selicin dan sesemok sekarang, abang akan tetap sayang eneng

Dan saya pun meneruskan lari pagi, dengan tekad baru, akan sering lari pagi, biar selalu segar, tidak cepat layu, karena pasti akan lebih bermanfaat buat istri dan anak saya yang akan segera lahir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun