Mohon tunggu...
De Ahmad
De Ahmad Mohon Tunggu... -

Mendokumentasikan pikiran sehari-hari, siapa tau cuma ini peninggalan buat anak cucu nanti

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cinta Fitri dan Pak Beye

27 September 2010   10:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:55 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah menjadi kebiasaan saya di setiap weekend, lebih memilih untuk tinggal di rumah. Browsing, nonton DVD atau nulis telah menjadi ritual weekend saya, seperti juga malam ini, seharian melanglang buana di internet, ditemani seorang kawan yang sedari tadi saya perhatikan duduk terpaku didepan TV, karena sudah bosan seharian browsing, saya bergabung dengan kawan saya itu, melihat keseriusannya, saya jadi tertarik, mungkin acaranya memang bagus. “Acara apaan?”Tanya saya, tanpa menoleh kawan saya menjawab “Cinta Fitri bro…”. “Bagus ngga ceritanya?” Tanya saya lagi, “Widih norak lu bro…. ini tuh sinetron favoritnya pak Habibie dan almarhum istrinya” terang kawan saya dengan semangat “Saking populernya, nih sinetron udah masuk session ke-enam lho bro”.

Mendengar presentasi kawan saya, yang bahkan sudah melibatkan pak Habibie beserta istri dalam penggambaran kualitas sinetron itu, saya tertarik ikutan nonton.

Entah apa yang ada di pikiran kawan saya setelah melihat sinetron itu, yang pasti hingga akhir saya tonton, kesimpulan saya tentang Cinta Fitri adalah para pemain matanya sering melotot, adegannangis setiap waktu, suara otak penuh kelicikan(suara yang muncul ketika ada adegan pemain sedang berpikir tapi kita bisa dengar apa isi otaknya, maaf saya ndak tau istilahnya apa itu).

Entah pula apa yang dipikirkan pak Habibie, seorang mantan presiden, jago bikin pesawat, dan deretan prestasi lainnya, hingga ditengah waktunya yang pasti sangat padat, dia masih bisa mengikuti episode per episode hingga akhirnya menyukai Cinta Fitri.

Atau mungkin produser sinetron sudah menemukan suatu formula, yang bisa menyebarkan virus sinetron, bukan saja merasuki ibu-ibu rumah tangga, namun hingga politisi dan orang besar semacam pak Habibie.

“Lu bener bro….mungkin virusnya udah masuk ke otaknya om Ruhut Sitompul” celetuk kawan saya setelah diam-diam dia mengintip tulisan yang belum selesai ini, merasa ada yang engga nyambung saya merespon datar sambil terus mencari ide untuk nyelesein tulisan ini “Maksud lu?”. “Kemaren kan om Ruhut sempat usul untuk memperpanjang periode jabatan pak Beye, mungkin rating pak Beye masih tinggi kali, kan sayang kalo cepet ending”ujar kawan saya sambil menarik bantal yang saya duduki dari tadi.

Mendengar celetukan itu membuat saya tersenyum, mendapat rating yang tinggi pasti membuat orang enggan untuk segera menyusun ending, dalam logika sinetron, skenario dengan mudah berubah untuk menyiasati kondisi, memang bisa saja sutradara tetap idealis ingin mengikuti skenario awal, tapi saya yakin para pemasang iklan yang berduit, atau banyak pihak lainnya, yang sudah kadung merasakan keuntungan dari tingginya rating sinetron itu, akan mencari cara untuk merayu sutradara untuk mengksploitasi kesempatan emas itu secara maksimal.

Logika yang datang mendadak itu membuat saya ngeri sendiri, apalagi ketika saya ingat salah satu buku yang pernah di tulis dosen saya dulu, pak Machfud MD, bahwa hukum adalah produk kekuasaan, saya tidak dapat membayangkan, bila orang-orang yang mengeruk keuntungan besar selama pak Beye berkuasa, dan mereka juga memiliki kekuasaan, menyambut usul pak Ruhut, dan secara bersama-sama dengan kekuasaan yang mereka miliki, merubah aturan yang sudah berlaku, apa jadinya negeri ini.

Pengalaman tentang mudahnya politisi di Senayan merubah tafsiran hukum, bahkan merubah aturan hukum yang ada selama ini, membuat saya kurang yakin kekuasaan bisa dijinakan hanya dengan hukum yang sekarang ada. Saya merasa perlu ada apresiasi yang lebih tinggi dari banyak orang atas pekerjaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), atau bahkan demonstrasi yang digelar mahasiswa maupun masyarakat yang lebih luas. Walau kadang demonstrasi yang digelar banyak juga yang tidak murni hingga menimbulkan dampak yang negative, tapi setidaknya sejarah telah mencatat, setiap perubahan besar politik dimanapun, selalu lahir dari jalanan, oleh masyarakat yang bergerak.

Saya mencoba untuk memancing kawan saya lagi, siapa tau dia punya imajinasi liar lain soal urusan rating ini, namunketika saya menoleh, ternyata mahluk itu sudah terkapar pasrah dengan mulut menganga, tapi karena mungkin dasarnya dia memang ajaib, walaupun tidur, masih saja keliarannya tersisa, “Shireen…Shireen Sungkar ” gumamnya sambil memeluk erat-erat bantal guling.Tidurlah kawan, dan terima kasih atas idemu hingga tulisan ini bisa selesai walau lari dari skenario awal, tapi maaf, aku tidak bisa tidur disamping mu, aku tak mau ternoda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun