Hipertensi merupakan kondisi tekanan darah tinggi yang lebih dari 140/90mmHg. Kasus hipertensi di Indonesia sangat banyak, mulai dari usia 30 tahun ke atas hingga lansia. Kasus ini utamanya menyerang lansia. Bahkan, pada tahun 2019, lansia yang memiliki penyakit hipertensi di Indonesia mencapai 38,7% (Kemenkes RI, 2019). Angka kematian lansia akibat hipertensi selalu meningkat di setiap tahun. Lantas, bagaimana cara mengentaskan atau menurunkan angka kematian pasien hipertensi lansia di Indonesia?
Banyak faktor yang menyebabkan tingginya angka kematian akibat hipertensi pada lansia. Sering ditemukan, lansia susah untuk patuh jika diperintah untuk mengonsumsi obat hipertensi secara rutin. Mereka seringkali menolak untuk mengonsumsi obat-obat hipertensi karena merasa jenuh jika mengonsumsi obat secara terus-menerus, efek samping dari obat hipertensi, dan kurangnya dukungan dari pihak keluarga.
Pasien lansia yang memiliki hipertensi biasanya memiliki komorbiditas atau penyakit penyerta seperti diabetes, jantung, atau gangguan pada ginjal. Hal ini yang membuat seorang pasien dianjurkan untuk mengonsumsi obat lebih dari satu jenis. Lama-kelamaan mereka pasti akan merasakan jenuh dengan kondisi mereka yang tidak bisa lepas dari obat. Selain itu, dengan obat yang banyak jenisnya dan daya ingat lansia yang rendah dapat membuat seorang pasien lansia lupa kapan waktu yang tepat untuk mengonsumsi obat-obat tersebut.
Obat-obat penyakit hipertensi memiliki efek samping yang bisa menganggu konsumennya. Efek samping itu seperti pusing atau vertigo, kelelahan, batuk kering, dan gangguan pencernaan. Contoh obat-obat yang memiliki efek samping seperti itu antara lain diuretik, ACE inhibitors, dan beta-blocker.
Dukungan dari keluarga mempengaruhi kondisi kesehatan pasien hipertensi. Tak jarang ditemukan anggota keluarga yang kurang perhatian dengan lansia yang memiliki hipertensi. Kebanyakan, mereka sibuk mengurusi urusan pribadi mereka. Hal ini membuat seorang pasien hipertensi merasa kesepian. Karena kesepian, pasien hipertensi akan mengalami penurunan motivasi hidup dan penurunan semangat untuk sembuh.
Peran perawat sangat diperlukan dalam kondisi ini. Peran perawat bukan sekedar mengukur tekanan darah pasien dan memberi obat. Perawat berperan dalam dukungan psiko-sosial pasien. Seorang perawat dapat memberikan edukasi atau penyuluhan baik itu ke pasien maupun keluarga pasien. Edukasi bisa dimulai dari hal-hal dasar seperti cara awal untuk menangani kondisi hipertensi. Hal dasar tersebut seperti mengajarkan bagaimana relaksasi yang benar agar pasien hipertensi bisa merasa lebih tenang dan nyaman.
Peran yang lain adalah memberi dukungan ke pasien dengan cara meningkatkan keterlibatan sosial pasien. Pasien hipertensi yang cenderung merasa kesepian akan merasa lebih baik jika ada aktivitas sosial yang berhubungan dengan kesenangan pribadi seorang pasien. Aktivitas sosial yang memerlukan interaksi dengan orang lain akan meningkatkan motivasi hidup pasien.
Perawat juga menerapkan komunikasi terapeutik, yaitu teknik komunikasi tenaga kesehatan dengan pasien dalam masa penyembuhan atau pemulihan pasien. Penerapan komunikasi terapeutik dengan empati dan keterbukaan dapat mengurangi stigma pasien. Dengan komunikasi terapeutik dapat membuat pasien lebih percaya diri untuk sembuh.
Selain itu, perawat menciptakan kolaborasi dengan keluarga pasien. Memberikan materi dasar tentang pengelolaan hipertensi lansia. Membantu menjelaskan peran keluarga dalam penyembuhan pasien hipertensi. Dukungan bisa diberikan secara sosial. Keluarga dapat menemani pasien selama proses penyembuhan maupun pemulihan, serta terus memantau gaya hidup pasien hipertensi lansia agar bisa terkontrol dengan baik selama diluar jangkauan tenaga kesehatan.
Perawat berperan banyak dalam setiap masa penyembuhan atau pemulihan seorang pasien hipertesi terutama lansia yang notabenya susah untuk diberitahu tentang kesehatan. Dengan peran perawat, Indonesia mampu mengentaskan angka kematian hipertensi pada lansia.