Mohon tunggu...
Dea Alfi Fauzan
Dea Alfi Fauzan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Belajar dan Terus Belajar

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Gelisah

12 Juli 2015   22:25 Diperbarui: 12 Juli 2015   22:25 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Gelisah,

Kata yang mungkin paling tepat menggambarkan perasaan saya saat ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gelisah diartikan sebagai tidak tenteram, selalu merasa khawatir, tidak tenang, tidak sabar lagi dalam menanti, cemas. Tidak tenteram, karena geliat Ramadhan tak lagi (terlalu) terasa, menguap seperti embun yang hilang ketika siang menjelang. Khawatir karena semangat orang berpuasa seakan luntur bak mencuci pakaian warna disertai pemutih. Cemas karena takut hal ini lantas berlanjut dan bahkan semakin parah nantinya.

Saya tidak bermaksud sok suci. Tulisan ini juga tidak bertendensi untuk menghakimi, yang katanya hanya boleh dilakukan oleh Tuhan. Hanya Tuhan yang paling tahu, bagaimana sebenarnya hidup seseorang. Hanya Tuhan yang berhak menilai sesuatu itu baik atau buruk.

“Tapi, bukankah Tuhan memberikan kita akal untuk berpikir? Menurunkan kitab suci agar hendaknya kita pelajari? Maka bukankah jelas apabila sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan itu bisa dikatakan salah?”

Namun tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas itu semua, membahas ke-berhak-an manusia menilai lalu menghakimi, tapi dari tulisan ini saya hanya ingin menyampaikan satu hal: kegelisahan.

Dulu, kala berjalan melintasi jalanan siang hari saat bulan puasa, hampir tak ada warung yang buka (kalaupun buka pasti ditutup rapat-rapat), tukang es krim yang berkeliling, abang-abang bakso yang mengetuk-ngetuk mangkuk tanda menawarkan dagangannya. Tapi kini, semua lazim. Seperti bulan-bulan biasa, tidak ada yang istimewa.

Dulu, hampir tidak pernah saya melihat siang bolong orang merokok, minum sirup, sambil tertawa-tawa di pinggir jalan. Namun kini, semua terjadi begitu mudah. Atau bahkan sambil berkendara lantas mengisap rokoknya dengan wajah tanpa tergurat malu.

“Mungkin saja mereka beragama lain, bukan? Jangan manja, deh. Tak usah mengemis penghormatan dari minoritas!”

Betul memang. Tapi sayangnya, beberapa (yang melakukannya) saya kenali. Dan tiap tahun mereka ikut berlebaran, ujian agama Islam waktu sekolah, dan meski tak pernah melihat tanda pengenalnya, saya meyakini kalau mereka masih (mengaku) Islam.

Apabila diperhatikan, makin tahun, semua ini makin menjadi. Yang tadinya hanya tukang es krim berseliweran, sekarang ditambah tukang siomay, bakso, dan cilok. Jika dulu warung-warung tutup siang hari, lalu menutup jendela dan pintu dengan kain, sekarang terang-terangan buka. Jika dulu orang masih ngumpet apabila dirinya tidak berpuasa, sekarang mereka dengan nyamannya menunjukkan batang hidung.

Saya tidak tahu kenapa saya gelisah. Ya, gelisah saja. Takut tahun depan tambah parah, tahun depannya lagi makin parah, hingga nantinya tidak ada satu pun yang menyadari kalau sedang kedatangan sesuatu istimewa bernama Ramadhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun