Tulisan ini bermula dari pengalaman pribadi yang berujung pada tanda tanya besar, apakah KRL sudah tepat untuk digunakan bagi semua orang? Apakah seluruh pengguna KRL sudah terfasilitasi dengan baik?Â
Sampai saat ini, kehebohan memberikan tempat duduk bagi prioritas masih hangat diperbincangkan, mulai orang-orang yang duduk di bangku prioritas tanpa rasa bersalah hingga orang-orang yang dianggap baik hati yang mau memberikan tempat duduknya bagi orang lain yang membutuhkan. Tidak hanya itu, tingkat agresivitas para penumpang di gerbong wanita juga masih menjadi sorotan para pengguna KRL.Â
Namun, sepertinya ada beberapa orang yang luput dari perhatian masyarakat.
Tidak hanya sekali atau dua kali terlihat pemandangan seseorang berjalan dengan menggunakan tongkat dan kacamata hitam, berusaha mencari peron. Guilding block menjadi acuan untuk berjalan di tempat yang seharusnya. Mirisnya mereka yang kita anggap tidak mampu bepergian sendirian memang benar-benar sendiri untuk menaiki kereta. Entah mengapa guilding block atau garis kuning yang memang diciptakan untuk mereka terkesan kurang berguna. Tidak jarang terlihat satpam yang memapah para pengguna KRL yang tidak dapat melihat untuk berpindah peron dan masuk ke kereta dengan diarahkan oleh petugas kereta.Â
Lalu, apakah KRL didesain untuk teman-teman kita yang tidak dapat melihat?
Kenyataan bahwa sepertinya penggunaan guilding block terlihat tidak terlalu membantu atau tidak terbiasa digunakan oleh mereka yang tidak dapat melihat. Berdasarkan observasi pribadi, peran petugas keretalah yang diandalkan untuk mengarahkan mereka. Selain itu, terdapat beberapa stasiun yang memiliki guilding block yang tidak lengkap atau terputus sehingga apabila mereka menggunakan guilding block hingga batas tertentu dapat diasumsikan bahwa mereka tetap membutuhkan bantuan orang lain karena fasilitas yang kurang memadai.
Lalu, apakah para petugas yang biasa membantu di stasiun memang diperuntukkan untuk membantu mereka?
Melalui observasi seadanya, dari apa yang dilihat, stasiun transit sebesar Stasiun Manggarai memiliki beberapa penjaga di mana tugas mereka adalah menjaga penyeberangan perlintasan kereta api yang akan dilalui pengguna KRL ketika ada kereta yang ingin lewat, menjawab pertanyaan para penumpang mengenai KRL dan meneriaki dengan menggunakan pengeras suara letak kereta sesuai peron. Jadi, apakah ada petugas yang khusus dipekerjakan untuk membantu sahabat kita yang keadaannya tidak memungkinkan untuk mengakses kereta? Saya tidak tahu. Yang saya tahu memang terdapat tim penolong yang siap membawa alat pembopong untuk membantu pengguna KRL yang sakit.
Para pengguna kereta yang kesulitan untuk mengakses kereta seperti mereka yang tidak dapat melihat, perlu untuk diperhatikan lebih mendalam. Entah fasilitas seperti apa yang sebaiknya mereka dapatkan. Apakah petugas yang khusus membantu mereka dan berdiri di sekitar peron ataukah aplikasi KRL yang menjelaskan tata letak stasiun dengan menggunakan suara atau apa pun yang dapat membantu mereka dalam mengakses kereta. Bagi saya hal ini sangat perlu diperhatikan melihat saya sering sekali berjumpa dengan mereka yang kesulitan untuk mengakses kereta.Â
Lalu bagaimana dengan orang tua berumur yang katanya masuk dalam kategori penumpang yang diprioritaskan? Apakah yang mereka butuhkan hanya sekadar tempat duduk?
Tadi malam, ketika saya menggunakan KRL dari Bekasi menuju Manggarai, seorang bapak tua membawa dua tas besar memanggil saya yang sedang asyik mendengarkan lagu. Beliau bertanya, "Ini di mana ya? Udah stasiun Jatinegara belum ya?"Â Tanggapan saya saat itu adalah bapak ini belum pernah mengakses KRL rupanya. Namun, beliau kembali bertanya kepada saya dan beberapa orang lainnya sambil berkata, "Saya gak bisa denger pengumumannya." Sepertinya sudah jelas, mereka membutuhkan lebih dari sekadar tempat duduk prioritas.Â