Hujan deras yang mengguyur kota seakan ingin menenggelamkan kesedihan yang kurasakan. Di antara gemuruh air yang membasahi atap asrama, hatiku terasa kian dingin. Foto-foto kita berdua, yang dulu menjadi lambang kebahagiaan, kini berubah menjadi kenangan pahit. Janji manis di masa putih abu-abu, saat kita bersumpah setia, kini sirna begitu saja. Aku masih ingat jelas tatapan matamu yang penuh keyakinan saat mengucapkan janji itu. Namun, kini kau telah menghilang tanpa jejak, meninggalkan luka mendalam di hatiku. Kekecewaan ini terasa begitu berat, bagai beban yang terus menindih.
Konflik itu mulai menyeruak ketika aku mencoba menghubungimu berkali-kali, namun semua panggilanku tak pernah kau angkat. Pesan-pesan singkat yang kukirimkan hanya menjadi tumpukan kata-kata tak berarti di layar ponselku. Frustasi, aku mencoba mencari tahu keberadaanmu melalui teman-teman kita yang lain, tetapi mereka pun juga tidak tahu menahu. Aku mulai merasa ada yang tidak beres. Apakah kamu baik-baik saja? Apakah kamu sedang dalam kesulitan? Ataukah... apakah kamu sudah melupakanku? Pertanyaanpertanyaan itu terus menghantuiku setiap malam, membuatku sulit tidur dan semakin tenggelam dalam kesedihan. Teman sekamarku, Rina, yang selalu berusaha menghiburku, pun tak mampu mengembalikan senyumku. Aku merasa sendiri di tengah hiruk pikuk kota ini, terombang-ambing dalam ketidakpastian. Rasa sakit ini begitu menyiksa, menggerogoti setiap sendi dan sarafku.
Suatu hari, Rina mengajakku pergi ke kafe di dekat kampus untuk menghiburku. Dengan berat hati, aku menyetujuinya. Saat kami duduk di sudut kafe, pandangan mataku tiba-tiba terpaku pada sosok yang sangat familiar di meja lain. Ardi, pria yang pernah berjanji akan selalu bersamaku, sedang duduk bersama seorang wanita. Jantungku berdebar kencang, seakan ingin meloncat keluar dari rongga dada. Aku menatapnya dengan tatapan penuh keheranan dan kecewa. Aku ingin menghampirinya dan menuntut penjelasan, namun tubuhku terasa lumpuh. Rina, yang menyadari perubahan ekspresiku, segera menggenggam tanganku erat-erat dan menatapku dengan khawatir.
Aku dan Rina beranjak dari tempat duduk kami, berpura-pura ingin memesan minuman di kasir, namun tujuan sebenarnya adalah untuk mendekati meja Ardi. Ketika kami berjarak beberapa langkah dari mereka, aku bisa mendengar percakapan mereka. Isi pembicaraannya membuatku semakin bingung. Ternyata, Ardi sedang membicarakan tentang rencana pernikahannya dengan wanita di sampingnya. Dan lebih mengejutkan lagi, wanita itu adalah teman seangkatannya di kepolisian, yang bernama Sarah. Hati saya terluka lebih dalam dari sebelumnya, dan pikiran saya menjadi kacau. Semua janji yang diucapkannya di masa lalu terasa seperti lelucon yang sangat menyakitkan.
Dengan sisa keberanian yang ada, aku menghampiri meja Ardi. "Ardi?" panggilku dengan suara bergetar. Ia terkejut melihat kehadiranku. Wajahnya yang tadinya tersenyum tiba-tiba berubah menjadi pucat. Sarah, yang duduk di sampingnya, menatapku dengan tatapan bingung dan sedikit curiga. Kulihat Ardi gelagapan mencari alasan, namun kata-kata yang keluar dari mulutnya terasa hambar. Aku tidak tahan lagi, air mata pun mulai mengalir di pipiku. Dengan suara yang hampir tercekat, aku bertanya tentang janjinya, tentang semua kenangan yang pernah kami ukir bersama. Ardi hanya tertunduk diam, tak berani menatap mataku. Sarah, yang tampaknya mulai memahami situasi, hanya bisa menatapku dengan tatapan yang tak dapat kuartikan.
Aku membiarkan air mataku terus mengalir, membiarkan rasa sakit dan kecewa merobekrobek hatiku. Rina berusaha menenangkanku, tapi aku merasa semua kata-kata penghiburnya tak bisa menembus dinding rasa sakit ini. Aku memutuskan untuk pergi, tak ingin berlamalama melihat orang yang pernah kucintai, kini berdiri di hadapanku dengan hati yang telah berubah. Aku berlari keluar dari kafe, membiarkan hujan kembali membasahi wajahku, seolah-olah air mata ini tak cukup untuk meluapkan rasa sakit yang kurasakan. Aku berlari dengan sekuat tenaga.
Beberapa hari berlalu, aku mencoba menata kembali hatiku. Aku fokus pada kuliahku, berusaha melupakan semua yang telah terjadi. Aku menyadari bahwa aku tidak boleh terus terpuruk dalam kesedihan. Rina terus menyemangatiku, membantuku bangkit dari keterpurukan. Hingga suatu hari, saat aku sedang berada di perpustakaan, seorang teman datang menghampiriku. Ia memberikan sebuah surat yang katanya dititipkan oleh seorang polisi. Dengan ragu, aku membuka surat itu. Ternyata, surat itu dari Ardi.
Dalam surat itu, Ardi menjelaskan semua alasan mengapa ia menghilang. Ia bercerita bahwa ia tidak pernah melupakanku, ia selalu memikirkan tentang janji-janji yang pernah kami ucapkan bersama. Namun, ia merasa tidak pantas untukku. Ia mengatakan bahwa ia mengalami trauma berat sejak kecil akibat kekerasan dalam rumah tangga, dan trauma itu membuatnya merasa tidak layak untuk dicintai. Ia takut jika suatu saat nanti ia akan menyakitiku. Ia merasa lebih baik menjauh dan membiarkanku meraih cita-citaku, daripada harus terus menerus dihantui rasa bersalah. Ia juga menulis bahwa ia sengaja menjalin hubungan dengan Sarah, bukan karena ia mencintai Sarah, melainkan karena ia hanya ingin mencari pelarian. Itu semua ia lakukan karena dia ingin aku membencinya dan melupakannya.
Membaca baris demi baris surat Ardi, aku merasa ada perasaan aneh yang muncul dalam hatiku. Aku merasa kasihan padanya, aku merasa ada beban berat yang selama ini ia pikul sendiri. Aku tidak lagi merasa marah kepadanya, namun aku lebih merasa sedih dan iba. Aku menatap surat itu, berusaha mencerna semua kata-kata yang ia tulis. Aku bahkan tidak tahu kalau dia memikul beban seberat itu. Aku merasa bodoh karena tidak pernah menyadari kalau Ardi sedang tidak baik-baik saja. Aku menyesal karena tidak pernah mencoba bertanya padanya tentang perasaannya selama ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI