Di era digital yang semakin berkembang pesat teknologi telah membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Salah satu perubahan paling signifikan adalah dalam cara kita berkomunikasi dan mengakses informasi. Media sosial sebagai salah satu produk utama dari perkembangan teknologi digital, kini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan TikTok bukan hanya alat untuk berbagi momen atau hiburan, tetapi juga menjadi sarana utama untuk menyebarkan informasi, berkomunikasi, dan bahkan memengaruhi opini publik.
Dalam konteks komunikasi politik media sosial telah menjadi senjata utama dalam membangun narasi, memobilisasi massa, dan memengaruhi persepsi masyarakat terhadap isu-isu politik. Namun, di balik manfaat yang ditawarkan, media sosial juga menghadirkan tantangan besar, terutama karena algoritma yang mengatur cara informasi disajikan kepada pengguna. Algoritma ini dirancang untuk mempersonalisasi pengalaman pengguna, tetapi sering kali memperkuat bias dan memprioritaskan konten yang sensasional atau kontroversial. Akibatnya, informasi yang salah atau tidak akurat dapat dengan cepat menyebar, yang dapat merusak kualitas diskursus politik dan demokrasi.
Masalah utama yang muncul adalah bagaimana narasi politik otentik sering kali tersisihkan oleh informasi yang lebih menarik perhatian, namun kurang mendalam atau bahkan keliru. Diskusi politik yang seharusnya berbasis pada fakta dan analisis yang rasional sering tergantikan oleh perdebatan emosional yang lebih mudah menarik perhatian dan meningkatkan keterlibatan. Fenomena ini mengancam kualitas demokrasi yang bergantung pada pemilih yang terinformasi dengan baik dan diskusi yang sehat.
Pengaruh Algoritma pada Komunikasi Politik di Indonesia
Media sosial telah mengubah cara orang mengakses informasi dan berinteraksi dengan konten politik. Di Indonesia, di mana pengguna media sosial sangat aktif dampaknya sangat terasa. Algoritma media sosial berperan besar dalam menentukan konten apa yang muncul di beranda pengguna. Algoritma ini bekerja berdasarkan preferensi pengguna, yang diidentifikasi melalui riwayat aktivitas mereka seperti konten yang mereka sukai, komentari, atau bagikan. Namun, meskipun algoritma bertujuan untuk memberikan pengalaman yang lebih relevan bagi pengguna, pendekatan ini memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan. Salah satu dampaknya adalah terbentuknya ruang gema (echo chambers), yaitu situasi di mana seseorang hanya terpapar pada informasi yang mendukung pandangannya sendiri. Jika seseorang sering berinteraksi dengan konten yang mendukung salah satu kandidat atau partai politik tertentu, algoritma akan terus menampilkan konten serupa. Akibatnya, pengguna cenderung tidak mendapatkan pandangan yang beragam atau sudut pandang alternatif.
Fenomena ini memperburuk polarisasi politik yang sudah ada di Indonesia di mana masyarakat terpecah dalam kubu-kubu ideologi yang saling berbenturan. Setiap kubu merasa bahwa pandangan mereka yang paling benar, dan hal ini semakin diperburuk oleh informasi yang terfilter berdasarkan preferensi mereka. Polarisasi politik ini semakin menciptakan jurang pemisah antara pendukung satu kubu dengan kubu lainnya, yang mengarah pada meningkatnya ketegangan sosial. Sifat algoritma yang cenderung memprioritaskan konten yang memicu reaksi emosional, terutama konten yang kontroversial, sensasional, atau provokatif, sering kali menyebabkan informasi yang tidak akurat atau bahkan hoaks menjadi lebih cepat viral dibandingkan dengan informasi yang benar. Konten yang tidak berbasis fakta atau yang memanipulasi opini banyak ditemukan di media social karena ini lebih efektif dalam menarik perhatian dan keterlibatan pengguna.
Polarisasi Politik yang Didorong oleh Algoritma
Dampak lebih lanjut dari fenomena ini adalah semakin terpecahnya diskursus politik yang sehat menjadi perdebatan yang lebih emosional dan penuh kebencian. Sebagai contoh dalam Pemilu 2019 di Indonesia, media sosial berfungsi tidak hanya sebagai arena informasi tetapi juga sebagai medan perang ideologi antara dua kandidat presiden yang sangat berbeda pandangan politiknya. Kedua kubu memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan narasi yang mendukung mereka dan menyerang lawan mereka. Namun, banyak dari narasi ini menggunakan informasi yang tidak akurat atau sengaja dibesar-besarkan untuk memengaruhi persepsi publik. Polarisasi yang semakin tajam ini mengurangi kemungkinan tercapainya konsensus politik yang konstruktif. Dalam sebuah sistem demokrasi, penting untuk memiliki ruang untuk diskusi dan debat yang rasional yang berdasarkan pada fakta dan data. Tetapi ketika masyarakat hanya terpapar pada informasi yang memperkuat pandangan mereka sendiri kualitas diskursus politik menjadi sangat buruk karena sulit untuk mengedepankan logika dan lebih mengedepankan emosional dan sentimen kelompok.
Disinformasi dan Berita Palsu
Di era digital, disinformasi dan berita palsu (hoaks) menjadi salah satu tantangan besar dalam komunikasi politik, terutama di platform media sosial. Algoritma yang mengatur media sosial dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna (engagement), yang berarti konten yang memiliki potensi untuk menarik perhatian atau emosi, seperti yang kontroversial, provokatif atau sensasional akan mendapatkan prioritas lebih tinggi. Ini menyebabkan berita palsu atau disinformasi yang bersifat emosional dan mudah memicu kemarahan atau ketakutan lebih sering tersebar daripada informasi yang berbasis fakta dan analisis rasional.
Salah satu alasan utama mengapa hoaks bisa menyebar begitu cepat di media sosial adalah karena sifat algoritma yang memprioritaskan konten yang mendapatkan banyak interaksi seperti like, komentar, dan share tanpa mempertimbangkan apakah konten tersebut valid atau tidak. Informasi yang menyentuh emosi pengguna, seperti berita yang memicu kemarahan, kebencian, atau ketakutan, sering kali lebih efektif dalam meraih interaksi daripada informasi yang lebih netral dan berbasis pada fakta. Ini menciptakan situasi di mana konten yang tidak akurat atau bahkan sepenuhnya salah dapat menjadi viral, jauh lebih cepat daripada berita yang benar atau informasi yang bersifat edukatif.