Mohon tunggu...
Dewi Nur Jannah
Dewi Nur Jannah Mohon Tunggu... -

State Islamic University Maulana Malik Ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Surat untuk "Bapak" (Katanya Perbedaan Itu Indah, Benarkah?)

12 Mei 2016   07:28 Diperbarui: 22 Mei 2016   18:27 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teruntuk “Bapak” yang terhormat…

Semoga senantiasa dalam lindungan dan rahmat-Nnya
Ma’af jika saya lancang menyurati “Bapak” dan telah mengusik ketenangan “Bapak”

“Bapak” yang bijaksana, katanya perbedaan itu indah. Benarkah Pak? Kata “Bapak” kita harus menghormati satu sama lain. Kata “Bapak” semua agama itu sama. Semua membawa kedamaian dan berpusat pada Tuhan yang Maha Esa sesuai dengan Sila pertama dalam Pancasila. Katanya tidak ada agama yang megajarkan pada kekerasan, kebencian, kedengkian, perpecahan, permusuhan, dan hal-hal buruk lainnya yang pasti tidak disukai. Saya yakin semua agama memang tidak mengajarkan semua itu. Semua agama mengajak pada kebaikan. Tapi manusia-manusia lah yang mengatasnamakan agama menjadi sebuah keburukan. Sehingga sekelompok orang menjadi sangat fanatik pada aliran agama tertentu, dan sebagian orang membenci kelompok-kelompok agama lainnya yang tidak sealiran. Lalu bagaimana “Bapak” menanggapi semua hal itu?

“Bapak” yang budiman, saya adalah pemeluk agama Islam. Dalam agama Islam pun juga mengajarkan pada pemeluknya untuk senantiasa berhubungan baik pada Allah sang Maha Pencipta, juga berhubungan baik kepada sesama manusia. Hubungan vertikal dan horizontal harus seimbang. Tapi mengapa selama ini Islam dianggap sebagai pemicu timbulnya teroris? Dimata orang-orang non muslim, Islam dianggap agama yang mengekang dan banyak aturan. Saya yakin itu karena ulah-ulah manusia jahil yang telah merusak Islam. Orang yang paham betul dengan Islam dan menaati aturan-aturan yang ada di dalamnya pasti akan merasakan beribu manfaat darinya. Lalu bagaimana “Bapak” menyikapi hal itu?

“Bapak” yang cerdas, “Bapak” telah memberi penjelasan pada kami tentang sosiologi agama. Kata “Bapak” Sosiologi Agama akan membuat kita paham dengan pengertian agama, fungsi agama, hubungan agama, dan hubungan antar lintas umat beragama. Saya mencoba memahami mata kuliah yang “Bapak” ajarkan dan sampaikan. Kata “Bapak” kita harus menghargai dan menghormati suku, ras, dan agama orang lain. Kata “Bapak” kita boleh saling mendo’akan antar lintas umat beragama. Dalam artian kita boleh mendo’akan orang Hindu atau dido’akan orang Budha atau mendo’akan orang Katolik atau mendo’akan orang Kristen, dan sebaliknya. Kata “Bapak” perbedaan itu indah. Tapi saya semakin ragu jika perbedaan itu indah. Buktinya saja, “Bapak” tidak suka melihat orang lain yang tidak seprinsip dengan “Bapak”, “Bapak” bahkan sangat risih dan bahkan berani mencaci maki di depan kami (mahasiswa) ya walaupun mungkin bukan kami yang “Bapak” maksut. Padahal itu masih dalam lingkup satu agama, hanya saja prisnsipnya berbeda. “Bapak” mengatakan bahwa “Bapak” tidak suka dengan orang “jilbaber”. Padahal Islam menyeru pada pemeluknya (wanita) untuk berjilbab.

Lalu mengapa Anda menyatakan seperti itu? Apakah dengan pernyataan “Bapak” tadi kami harus mengamini perkataan-perkataan “Bapak” yang katanya perbedaan itu indah? Kata “Bapak” orang-orang yang berjenggot, memakai celana cingkrang, ataupun wanita-wanita muslimah yang berjilbab besar itu ikut aliran syetan. Apa yang mendasari “Bapak” berkata demikian? Apakah “Bapak” lebih senang melihat wanita-wanita muslim yang membuka auratnya? Dalil apa yang melarang seseorang untuk berjenggot, bercelana cingkrang, ataupun berjilbab besar Pak? Walaupun mungkin kami tak berpenampilan seperti yang “Bapak” maksut, tapi kami butuh penjelasan lebih lanjut dari pernyataan “Bapak”. 

“Bapak” yang sopan, katanya kami harus menghormati agama lain. Ya, itu memang harus. Tapi mengapa “Bapak” sendiri masih tidak bisa menghormati orang yang seagama? Saya merasa gemas dengan penjelasan-penjelasan yang “Bapak” sampaikan. Kuping saya terasa panas dan rasanya ingin saya tutup rapat-rapat agar tak mendengar penjelasan dari “Bapak” yang terkadang (mohon ma’af) menurut saya hanya omong kosong belaka. Karena teori yang “Bapak” sampaikan tak sesuai dengan kenyataan yang “Bapak” lakukan. Selama ini saya juga masih dalam tahap belajar untuk menjadi manusia yang baik dan bisa menghormati orang lain, juga bisa menghormati “Bapak”. 

“Bapak” yang mulia, kata “Bapak” manusia sekarang lebih mementingkan komunikasinya dengan gadget dari pada komunikasinya dengan manusia. Itu memang benar Pak. Kita tidak bisa menolak kehadiran teknologi yang semakin berkembang pesat. Kita harus pandai memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang buruk agar tidak terjerumus dalam kesesatan teknologi. Kata “Bapak” orang zaman sekarang juga lebih percaya dengan media sosial daripada dengan sesama manusia di dunia nyata. Itu mungkin karena dunia nyata belum mampu memberi kepuasan infornasi atau apapun, sehingga media sosial yang notabene adalah dunia maya bisa membantu memberi kepuasan pada mereka. Selain itu mereka yang lebih memilih dunia maya, mereka berpikir bahwa dunia nyata menawarkan banyak konflik dan perdebatan, ya walaupun dunia maya juga demikian. Tetapi dunia maya memberi daya tarik tersendiri bagi mereka.

“Bapak” yang terhormat, saya memang hanya manusia biasa yang jauh dari baik apalagi kesempurnaan. Untuk itu saya harus terus belajar agar bisa menjadi baik. Saya mohon pada “Bapak” agar bisa memberi ilmu yang baik. Bukan ilmu-ilmu yang tidak baik apalagi ilmu sesat. Demikian surat yang bisa saya sampaikan. Semoga surat ini bisa sampai pada “Bapak” sehingga pertanyaan-pertanyaan saya bisa terjawab.
Sekian, terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun