Belum lagi kontak fisik yang kerap terjadi, seperti mendorong, menampar, bahkan terkadang menerjang. Untuk apa semua itu dilakukan? Bukankah apabila pelatihan fisik dapat dilakukan dengan banyak sekali kegiatan? Sebut saja yang paling mendasar seperti push up.
Lebih gila lagi, terkadang push up dilakukan oleh peserta dengan lebih ekstrim, saya pernah menyaksikannya sendiri dimana peserta harus menahan kedua lengannya agar tidak terjatuh ke tanah. Itu memang hal biasa, tetapi yang di luar logika, senior dari peserta didik tersebut memberikan golok yang siap melahap perutnya ketika dia lengah.
Memang tidak semua, hanya dilakukan sebagian kecil dari para oknum. Namun kesaksian saya melihatnya secara langsung menjadi bukti bahwa di Era Digitalisasi seperti ini rupanya masih ada penerapan kegiatan seperti ini. Sungguh di luar nalar dan bikin saya geleng-geleng kepala. Kepikiran, kok jadi seni pertunjukan debus.
Dan benar saja, setahun kemudian mencuat kasus Diksar yang memakan korban. Satu orang tewas, dua orang harus dilarikan ke rumah sakit dan sebagian lain mengaku merasa dipukuli oleh panitia. Ngeri, ya?
Padahal kalau dipikir-pikir, memangnya tidak ada Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam kegiatan Diksar? Sebagian besar ada, tetapi sebagian lainnya tidak memilikinya.
Inilah yang menjadi cikal bakal kekerasan terjadi, tidak ada aturan pasti yang menjadi pedoman bagi para peserta maupun panitia. Semua kegiatan dilakukan hanya dengan mengira-ngira.
Jika ada aturan jelas maka dapat dipastikan tak akan ada dendam. Jika tidak ada dendam, maka tidak akan mungkin bisa memakan korban (di luar faktor lingkungan alam yang berbahaya).
Praktiknya begini. Semua hal tentu ada alasan, mengapa peserta didik diberi hukuman push up? Tentu karena melakukan kesalahan. Dan siapa yang bisa memberikan hukuman? Instruktur kegiatan.
Sebelum melaksanakan Diksar, setidaknya panitia harus mengerti terlebih dahulu SOP yang ditetapkan. Ini agar kegiatan tidak berlangsung semrawut. Jangan perlakukan peserta seperti kambing hitam, bertemu panitia satu push up, berhadapan dengan panitia lain push up lagi. Tanpa alasan yang jelas. Padahal, panitia (misal mengurus konsumsi) yang memberi hukuman sebenarnya tidak tahu menahu terhadap setiap kegiatan yang dilalui peserta.
Itulah mengapa peran penting senior harus bijak dalam pengawasan. Rasanya tidak mungkin terjadi hal yang tidak diinginkan jika adanya pengawasan terhadap pelaksanaannya. Dalam hal ini, panitia mungkin takut untuk melakukan tindakan di luar batas.
Sebab kita tahu bahwa jika pendidikan dasar pecinta alam tidak diawasi dengan baik oleh orang dewasa yang bertanggung jawab, maka dapat menyebabkan kecelakaan dan bahaya bagi peserta didik.