Penegakan hukum semestinya menjadi fondasi keadilan yang dapat diandalkan oleh setiap warga negara. Dalam idealnya, hukum tidak membeda-bedakan siapapun, tanpa memandang latar belakang, status ekonomi, atau koneksi politik. Namun, realita di Indonesia seringkali menunjukkan hal yang sebaliknya. Hukum kerap terlihat sebagai alat yang melayani kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan, sementara masyarakat kecil dan rentan, yang seharusnya paling membutuhkan perlindungan, justru terpinggirkan dalam proses pencarian keadilan. Situasi ini tidak hanya melukai rasa keadilan publik, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen negara dalam mewujudkan sistem hukum yang benar-benar adil dan setara.
Ketidaksetaraan ini telah menjadi isu yang semakin mencolok di Indonesia. Perbedaan perlakuan dalam penegakan hukum yang dialami berbagai kelas sosial semakin menguatkan pandangan bahwa hukum kita "tajam ke bawah, tumpul ke atas." Ini bukan sekadar opini, tetapi sebuah fakta yang terus berulang. Masyarakat biasa yang terjerat kasus pelanggaran kecil cenderung dihukum tegas, sementara pelanggaran besar oleh mereka yang memiliki koneksi sering kali diatasi dengan negosiasi dan hukuman ringan.
Misalnya, dalam kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat atau tokoh politik, proses hukumnya sering kali berlarut-larut, terkadang diwarnai berbagai intrik yang berusaha "mengamankan" posisi mereka. Sebaliknya, bagi masyarakat kecil yang terpaksa mencuri karena alasan kebutuhan, hukum langsung diberlakukan tanpa kompromi. Ketimpangan seperti ini menciptakan rasa frustrasi di tengah masyarakat sekaligus melemahkan kepercayaan mereka terhadap sistem hukum yang seharusnya melindungi hak asasi semua orang.
Ketidaksetaraan ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan terbentuk dari berbagai faktor yang telah lama mengakar dalam sistem hukum kita. Sejumlah faktor utama menjadi pendorong yang memperkuat ketimpangan ini, diantaranya;
1. Pengaruh Politik yang Kuat
Banyak contoh yang menunjukkan bahwa proses hukum seringkali dipengaruhi oleh kepentingan politik, terutama bagi mereka yang mempunyai koneksi atau jabatan. Hubungan ini menciptakan ketergantungan antara penegak hukum dan para pemimpin politik, yang pada akhirnya membuat hukum cenderung berpihak pada satu sisi. Mereka yang berkuasa kerap mendapat perlakuan yang lebih istimewa, atau bahkan dibiarkan tanpa konsekuensi.
2. Korupsi dan Kolusi di Lembaga Penegak Hukum
Korupsi menjadi salah satu faktor terbesar dalam terciptanya ketimpangan hukum. Banyak laporan menyebutkan bahwa proses hukum bisa "dibeli," dimana uang seringkali digunakan sebagai penentu apakah kasus akan diproses cepat atau bahkan bisa saja dihentikan. Praktik kolusi yang terjadi antara penegak hukum dan pihak yang berpengaruh menciptakan standar ganda, sehingga hukum tidak lagi dijalankan berdasarkan prinsip keadilan.
3. Akses Terbatas Bantuan Hukum bagi Masyarakat Rentan
Kelompok masyarakat kecil atau rentan seringkali menghadapi tantangan besar dalam mendapatkan bantuan hukum yang memadai. Mereka yang tidak mampu membayar pengacara atau kurang memahami proses hukum, pada akhirnya terjebak dalam situasi yang merugikan. Minimnya akses ini juga memperbesar risiko mereka mengalami diskriminasi dalam proses hukum.