Menjadi aktivis kampus yang memiliki banyak pengalaman berorganissi dan banyak link dimana mana merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi mahasiswa itu sendiri. Akan tetapi mustahil bahkan dapat menjadi perbandingan yang tidak sedikit aktivis kampus itu mendapatkan kebanggaan tersendiri dalam bidang akademisnya. Dan melihat kondisi semacam ini, terlebih jika diminta untuk memilih rajin berorganisasi atau tekun kuliah? Pastilah akan kembali pada niat utama ketika awal hadir dikampus tercinta, menuntut ilmu dan menjadi seorang akademikus.
Restu dan kebanggaan orang tua mengetahui kesemangatan anaknya datang ke kampus untuk mencari ilmu dan memaksimalkan ilmu-ilmu tersebut dalam penerapan di masyarakat, pastilah menjadi tanggungjawab yang berat saat anak benar-benar memahaminya.
Memang tidak dapat dipungkiri akademikus jauh dari organisasi dan dekat dengan istilah “culun”, karena hari-harinya dipebuhi dengan seabreg tugas dan bertemankan buku-buku yang seakan menjadika primbon bagi kehidupannya. Akan tetapi pemahaman ilmu yang diperoleh akademikus tidaklah dimakan secara mentah-mentahan, melainkan adanya perbandingan dengan praktik dalam masyarakat yang sesuai dengan teorinya. Maka dari itu, dapat diistilahkan akademikus lebih mempersiapkan diri sebagaiagen perubah yang sesuai dengan teori dan lebih siap untuk membantu menyelesaikan problematika yang muncul dalam kehidupan sosial.
Dengan percaya diri dan benar-benar mempelajari teori-teori dari masing-masing ilmu, akademikus lebih yakin dapat memaksimalkan basik mahasiswa yang mainstreamnya memiliki kecerdasan intelektual dan dapat mengontrol emosionalnya dalam mengahadapi pertanyaan-pertanyaan masyarakat untuk dapat mencari soslusi yang bijak dan menimbulkan kemaslahatan bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H